Nada pernah mendengar kalau berlari dengan sangat kencang, sampai hanya satu titik dihadapannya saja yang terlihat, sampai suara yang mampu ia dengar hanyalah suara detak jantungnya sendiri, sampai sepertinya ia akan kehabisan nafas, sampai sepertinya jantungnya akan meledak kapan saja, sampai semua yang ada dikepalanya menghilang begitu saja, sampai yang ada di kepalanya hanyalah kosong, itu akan membantunya untuk menenangkan diri saat banyak hal yang tengah dipikirkannya. Itulah yang saat ini Nada lakukan.
Kali ini sudah putaran kesepuluh Nada berlari mengelilingi lapangan basket di kompleks perumahan tempat tinggalnya. Kaos hitam yang dipakainya sudah basak sejak tadi. Rambut yang tadinya dikuncir rapi, sekarang sudah berantakan. Wajahnya basah karena keringat yang terus mengucur. Namun belum ada tanda-tanda bahwa Nada akan mengakhiri sesi lari nya. Sedangkan Yudit, masih sibuk bermain basket dengan salah satu tetangga yang juga tinggal di kompleks tersebut. Padahal hari sudah mulai gelap.
Hingga Nada kemudian menjatuhkan tubuhnya di lantai lapangan yang terasa kasar di kulitnya. Nada mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah sembari memposisikan dirinya tidur telentang di pinggir lapangan. Dari sudut pandangnya, Nada bisa melihat dadanya yang naik turun seperti jantungnya akan meledak dari dalam sana. Perlahan Nada memejamkan matanya dan merasakan kembali perasaan yang masih tersisa saat ia tak melihat apapun selain satu titik didepannya, tak mendengar apapun kecuali detak jantungnya dan taka da yang ia pikirkan.
"Udah?" Hingga suara Yudit memaksa Nada untuk kembali membuka matanya. Yudit yang berdiri menjulang disamping Nada, kemudian menyerahkan botol minum kepada gadis itu.
Nada mengangguk lemah sebagai jawaban lalu memposisikan dirinya menjadi duduk, lalu menegak habis air yang ada di botol minumnya.
"Gue duluan!" Suara dari tetangga mereka yang kini tengah berada di bawah ring basket membuat Nada dan Yudit menolehkan wajah mereka lalu melambaikan tangan kepada si tetangga.
"Minggu depan kalau free main lagi ya!" Balas Yudit.
"Gila, mau mati gue rasanya!" Ucap Nada akhirnya setelah bisa menemukan suaranya.
"Lagian lo juga ngapain lari kayak orang gila, kan bisa pelan-pelan aja." Timpal Yudit sembari berusaha untuk berdiri. "Balik yuk, gue malem ini mau ke kos-an temen gue, mau main game." Ajak Yudit sembari mengulurkan kedua tangannya untuk membantu Nada berdiri.
Nada mengiyakan lalu meraih tangan Yudit, berusaha berdiri.
Lalu keduanya berjalan beriringan. "Nggak usah mampir rumah gue ya? Nggak ada orang, bentar lagi gue juga pergi ke kos an temen gua, takutnya lo nanti sendirian."
Nada mengangguk dan menggumam secara bersamaan. Rumah Nada dan Yudit memang berada di satu kompleks perumahan, hanya berbeda blok saja. Rumah Nada di Blok D, sedangkan rumah Yudit di Blok F. Lapangan yang sering mereka pakai untuk berolah raga atau hanya sekedar bermain basket ada di blok F, dekat dengan rumah Yudit. Biasanya Nada akan menerobos rumah Yudit untuk mendapatkan makanan atau sekedar beristirahat setelah selesai berolah raga. Namun saat ini, selain tidak ada orang dirumah Yudit dan sepupunya yang akan pergi setelah membersihkan badannya, Nada juga sedang tidak dalam mood yang baik hari ini. Jadi Nada memilih untuk langsung pulang saja. Lagi pula malam ini Bunda Din sedang tidak di Kedai karena Bunda Din sedang tidak enak badan.
"Nggak usah gue anter sampe rumah ya?" Tanya Yudit.
"Iya."
Perjalanan pulang setelah berolah raga biasanya akan sangat melegakan sekaligus melelahkan. Karena setelah berolah raga dan memaksa tubuh untuk bergerak lebih banyak daripada biasanya. Seperti yang dialami Nada sekarang ini. Tubuhnya terasa sangat lelah dan terasa sangat lemas, tapi pikirannya sedikit tenang daripada saat sebelum Ia memaksa tubuhnya untuk berlari.
Saat malam hari menjelang, di kompleks tempat tinggalnya akan terasa sangat sepi. Semua orang memilih untuk berada didalam rumah masing-masing. Berjalan sendiri di malam hari jarang Nada lakukan selain saat Ia pulang dari lapangan dan Yudit tak mengantarnya sampai di rumah, seperti yang terjadi kali ini.
Sembari berjalan menuju rumahnya, pandangan Nada terpaku pada jalanan. Aspal yang sudah sedikit rusak sehingga banyak kerikil yang terlepas dari aspal itu membuat Nada sesekali menendang kerikil-kerikil itu jauh kedepan. Sesekali Nada bermain dengan bayangan dirinya yang Nampak di jalanan saat lampu jalan menerangi tubuhnya dari atas.
Sampai saat suara yang saat ini tidak ingin didengarnya kembali terdengar dan membuatnya mau tak mau mendongak dan menemukan sosok itu tengah berdiri didepan pagar rumahnya.
Walaupun sudah malam hari dan cahaya lampu tak membantu dengan sempurna agar Nada bisa melihat dengan jelas, Namun Nada sudah yakin kalau dirinya saat ini tengah menatap pada sosok Pak Rama yang masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat Ia melihatnya di kampus pagi tadi.
"Dari mana?" Suara Pak Rama yang tidak terdengar ramah kembali terdengar.
"Main." Jawab Nada singkat. "Ngapain disini?" Lanjut Nada yang kini tengah berdiri dihadapan Pak Rama dengan jarak yang tidak terlalu dekat namun juga tak terlalu jauh.
"Kamu ada waktu? Saya mau ngobrol bentar boleh? Ada yang perlu saya bicarakan." Pinta Pak Rama.
Nada terdiam sejenak. Ia kembali menundukkan wajahnya dan menatap ujung sepatu abu-abu miliknya. Pikirannya kalut. Sebenarnya Ia sangat ingin bicara dengan Pak Rama. Ia sangat ingin menanyakan banyak hal kepada laki-laki dihadapannya ini. Tentang Pak Rama, tentang dirinya dan tentang semuanya. Namun Nada mengurungkan niatnya. Nada takut kalau ia akan terluka. Ia takut kalau apa yang akan mereka bicarakan nantinya akan menyakiti dirinya.
"Kalau boleh tau, ngobrol tentang apa Pak? kalau Bapak mau sewa jasa pendamping, maaf Pak, kami bertiga sudah ada kegiatan malam ini jadi nggak bisa di sewa." Ucap Nada sembari menggenggam erat botol minumnya.
"Nada, please jangan kayak gini." Ucap Pak Rama sembari memangkas jarak antara dirinya dan Nada.
Nada merasa dirinya perlu untuk sedikit membuat jarak, akhirnya melangkahkan kakinya kebelakang. Sehingga tercipta lagi jarak diantara mereka.
"Kita perlu bicara. Saya tunggu kamu siap-siap lalu kita pergi sebentar." Pak Rama tak menyerah, kakinya yang panjang mulai melangkah lagi dan kini tangan kanannya mencoba untuk menggengam legan Nada yang kemudian dengan cepat ditepis oleh Nada.
"Iya ngomong aja sekarang, Pak. Kalau Bapak mau bicara soal nggak balas pesan sama panggilan saya, saya udah nggak apa-apa kok pak, tenang aja. Saya juga nggak merasa hal itu penting buat dibahas." Ucap Nada.
Bohong! Pekik Nada dalam hati. Selama ini Nada tak pernah suka dengan orang yang berbohong. Tapi, dirinya sendiri melakukan hal itu.
"Nada, saya serius sekarang. Saya tunggu kamu beres-beres lalu kita pergi, atau kita bisa masuk kedalam mobil sekarang untuk bicara. Saya nggak bisa bicara dalam keadaan nggak nyaman seperti ini."
"Saya juga serius Pak, kalau mau bicara soal itu, saya udah nggak apa-apa. Jangan dianggap serius. Saya nggak marah juga. Lagi pula buat apa saya marah!" Suara Nada meninggi.
"Nada!" Tiba-tiba suara Bunda Din terdengar, dengan cepat Nada melihat kearah suara. Sosok Bunda Din sedang berdiri diambang pagar. Wajahnya terlihat sangat pucat membuat Nada langsung menghampirinya.
"Bunda." Panggil Nada.
"Siapa yang ngajarin kamu bentak orang yang lebih tua? Bunda nggak pernah ngajarin kamu untuk bicara sama orang yang lebih tua dengan cara nggak sopan, Nada." tanya Bunda Din yang membuat Nada sedikit tersentak lalu menundukkan kepalanya. "Kalau ada yang harus diselesaikan, langsung diselesaikan. Kalian sudah dewasa, udah seharusnya bicara dengan baik-baik." Lanjut Bunda Din.
"Maaf Bunda." Ucap Nada lirih.
"Maaf Bunda, seharusnya saya yang lebih bisa mengalah dan nggak paksa Nada untuk bicara sama saya." Pak Rama menimpali.
"Jadi mau bicarakan sekarang atau kapan? Kalau sekarang, kalian berdua masuk. Bunda nggak mau kalian jadi tontonan tetangga gara-gara ribut diluar. Kalau mau bicara lain waktu, tentukan sekarang kapan dan dimana!" titah Bunda Din.
"Bicara sekarang aja Bunda. Selesai lebih cepat lebih baik. Nada mandi dulu kalau gitu." Ucap Nada lalu dirinya segera berlalu meninggalkan Pak Rama dan Bunda Din yang masih terdiam di tempat mereka berdiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAFT 2 -Jasa Pendamping ( ✔)
RomanceADA BEBERAPA PART YANG DIHAPUS. PART YANG SUDAH DIHAPUS DI WATTPAD, BISA DIBACA DI INSTAGRAM @iwritesomewords. TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA! Sungguh pekerjaan yang paling mulia adalah pekerjaan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah sekaligus pekerjaan...