TIGAPULUH

3.8K 297 1
                                    


Barang-barang yang baru saja dibeli oleh mereka, kini tergeletak begitu saja di lantau ruang tengah. Setelah bergotong royong memindahkannya dari bagasi mobil ke dalam rumah, sepertinya Nada maupun Pak Rama tidak ada yang menyentuh barang-barang itu lagi karena terlalu lelah setelah beberapa kali mengelilingi mall untuk mencari barang-barang yang dibutuhkan.

Kini, setelah menegak habis air mineral dari botolnya, Nada lalu membiarkan dirinya tidur diatas sofa ruang tengah. Sedangkan Pak Rama masih memilih channel di televisi untuk sekedar memberi tambahan suara agar tidak terlalu sepi.

"Kita masih punya roti bakar loh, saya ambilin ya?" Ucap Pak Rama langsung beranjak dari sofa tanpa menunggu jawaban dari Nada yang masih tergolek lemas.

Tadi, saat perjalanan pulang dari Mall, Nada meminta Pak Rama berhenti di pinggir jalan karena Nada ingin membeli roti bakar coklat. Katanya sudah lama Nada tidak makan roti bakar selai coklat. Pak Rama mengiyakan saja karena sebenarnya Pak Rama juga suka makan roti bakar yang dijual di pinggir jalan.

Sekembalinya Pak Rama di ruang tengahlengkap berserta roti bakar dan dua air mineral lagi, Nada lalu memposisikan dirinya untuk duduk atas karpet tebal bersama dengan Pak Rama yang membuka bungkus roti bakar itu di atasnya.

"Dulu saya sering sekali beli roti bakar pinggir jalan gini sama ayah saya sepulang dari les berenang." Cerita Pak Rama setelah menelan potongan pertama roti bakar miliknya.

"Bapak jago berenang dong? Lain kali ajarin saya, ya pak!"

"Kamu nggak bisa berenang?" Tanya Pak Rama tidak percaya.

"Bisa, Cuma nggak jago. Saya pengen bisa gaya katak." Jawab Nada asal-asalan, padahal Nada sendiri tidak begitu yakin gaya katak itu yang seperti apa.

"Jangan-jangan kamu bisanya gaya batu doang?" Goda Pak Rama.

"Itu mah, bayi juga bisa." Decak Nada.

"Heh, nggak boleh decak-decak gitu kalau sama orang yang lebih tua." Tegur Pak Rama membuat Nada menjadi sedikit kicep dan memilih untuk minta maaf langsung.

"Memangnya Bapak umur berapa sih?" Tanya Nada tanpa basa basi.

"Tebak!"

"Empat puluh?"

"Ngaco! Tebak yang bener!"

"Tiga lima?"

Pak Rama menggeleng lalu menoyor tangan Nada yang menunjuk wajah Pak Rama.

"Tiga puluh?"

"Salah!"

"Lebih tua apa lebih muda?"

"Ya belum sampai tiga puluh, lah! Sembarangan!"

"Ya berapa? Muka Bapak aja nunjukin umur segitu!"

"Dua puluh tujuh."

"Ih tua banget!" Nada tertawa mengejek. Sedangkan yang diejek hanya memutar kedua bola matanya dengan malas.

"Emangnya kamu berapa?" Tanya Pak Rama akhirnya.

"Tujuh belas." Jawab Nada tanpa dosa.

"Iya tujuh belas, tapi lima tahun lalu!" Cibir Pak Rama.

Nada tertawa terbahak bahak melihat wajah Pak Rama yang kini masih memanyunkan bibir bawahnya. Kalau melihat ekspresi wajah Pak Rama saat ini, sangat berbanding terbalik dengan usianya yang sudah menginjak umur dua puluh tujuh tahun. Tiga tahun lagi Pak Rama akan berkepala tiga.

"Nada, boleh pegang tangannya, nggak?" Pinta Pak Rama setelah beberapa saat mereka kembali terdiam dan menikmati roti bakar.

"Kenapa?" Tanya Nada seraya menyerahkan tangan kirinya yang sedang tidak memegang roti bakar kepada Pak Rama.

DRAFT 2 -Jasa Pendamping ( ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang