07

791 114 5
                                    

"Aku nggak nyangka cuma makan ramyeon bisa seenak ini," ucap Seongmin sambil mengelus-elus perutnya yang kenyang.

"Siapa dulu dong kokinya? Bang Woobin!" puji Taeyoung.

Bang Woobin tersenyum puas. Ia kemudian melompat-lompat dan hampir kayang jika Bang Jungmo tidak melarangnya.

"Tapi kayaknya ini masakan paling ribet yang pernah Bang Woobin masak," sahut Minhee.

"Paling ribet gimana?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

"Iya. Proses pembuatannya ribet, makanya rasanya enak. Bang Woobin kan biasa masak yang simple, kayak mandu, dim sum, pizza, mousse cake, churros, panna cotta, lasagna, ratatouille, terus...UHUK!"

Punggung Minhee ditepuk cukup keras oleh Hyeongjun, membuatnya mengernyit sebal. Entahlah, kali ini aku mendukung aksi Hyeongjun.

"Ini udah selesai makan, nanti semuanya kita bersihin sama-sama," perintah Bang Serim.

"Gak ada penolakan!" tegasnya ketika melihat Minhee yang hendak berbicara. Minhee langsung terdiam, kemudian mengacungkan jempolnya.

"Semuanya cuci piring dan gelas masing-masing, untuk peralatan masak  biar Abang yang beresin," lanjut Bang Serim. Semuanya kemudian menurut, lalu berjalan bergantian untuk mencuci piring masing-masing.

Setelah semua selesai, kami berkumpul di ruang keluarga.

"Jadi, kita mau langsung tidur, atau mau main-main dulu?" tanya Bang Woobin.

"Main yuk!" seru Seongmin.

"Main apa?" tanya Bang Wonjin.

"Mafia game?" Hyeongjun memberi ide.

"Atau..." Bang Serim menahan ucapannya, membuat semua melihat ke arahnya.

"Kita nonton film?" lanjutnya.

"Boleh, tuh!" sambut Bang Jungmo.

"Yang lain gimana?" tanya Bang Allen. Tak disangka, semua mengangguk setuju, termasuk aku. 15 menit kemudian, kami sudah di posisi nyaman masing-masing sambil memandang layar proyektor yang menampilkan film drama yang kami tahu akan membuat kami menangis.

Adegan berubah menjadi sangat emosional, membuatku meneteskan air mata. Tetapi, ternyata ada yang terganggu dengan itu. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Minhee, yang sedang tiduran di atas pahaku. Aku duduk di ujung sofa, sementara Minhee merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di atas pahaku, meskipun panjang sofa tak cukup untuk menampung panjang kakinya.

"Ambil tisu ih!" protesnya.

"Ambilin!" rengekku. Ia menurunkan kakinya, lalu menarik kotak tisu dengan kakinya, ketika sudah dekat, ia mengambilnya dan memberikannya padaku. Dan ia melakukan semuanya tanpa perlu mengangkat tubuhnya dari posisi rebahan. Menakjubkan memang.

Film berakhir. Aku menangis, aku juga bisa melihat Hyeongjun, Seongmin dan Bang Wonjin terisak. Bang Serim tampak mencoba menahannya, tapi aku tahu dia juga terbawa suasana. Minhee dan Taeyoung sudah tertidur pulas.

Bang Serim bangkit lalu mematikan proyektor dan laptop. Ia membereskan segalanya sebelum menyuruh semuanya masuk ke kamar.

Aku membangunkan Minhee dan mengajaknya ke kamar.

Oh. Ya. Kami semua tidur di dalam satu kamar. Inilah kenangan terindah dari vila ini. Kami selalu tidur dalam satu kamar di vila ini sejak kecil hingga sekarang. Kamarnya cukup luas, dan tidak menggunakan tempat tidur, hanya ada 10 futon dengan posisi head to head. Semuanya masuk dan memilih ingin tidur dimana. Hanya aku yang harus memilih posisi di ujung, dan Minhee harus tidur di sampingku karena dialah satu-satunya saudara kandungku.

Family Time!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang