28

453 77 7
                                    

"Kakak kenapa?"

Aku membuka selimut yang menutupi wajahku ketika mendengar suara familiar memanggilku.

Aku membuka selimut yang menutupi wajahku ketika mendengar suara familiar memanggilku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak papa," jawabku singkat lalu menutup wajahku dengan selimut lagi.

"Ihh.. Kakaakk.." Seongmin menarik selimutku.

"Nggak papaa..." Aku menahan selimutku.

"Kakaaakk..." Seongmin akhirnya berhasil membuka selimutku meski aku sudah menahannya dengan seluruh tenaga. Anak ini ternyata kuat juga.

Ekpresi yang kemudian kulihat adalah ekspresi kesal Seongmin.

Ekpresi yang kemudian kulihat adalah ekspresi kesal Seongmin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu punya masalah apa sih, Dek?" keluhku kemudian.

"Kakak dari siang dikamar terus. Aneh. Padahal kan tante--"

Aku meletakkan telunjukku di bibir Seongmin. Aku tidak ingin membahasnya.

"Apaan sih, Kak?" Seongmin menarik tanganku. "Harusnya kan Kakak senang, ibunya Kakak pulang," lanjutnya.

Aku mendengus kesal. Seperti kata Seongmin, ibuku memang pulang, tapi sesungguhnya, hubungan kami tidak cukup baik.

Ibu adalah seorang relawan kemanusiaan. Hidupnya lebih suka dihabiskan dengan membantu mereka yang berada dalam kesulitan. Namun, karena itu, dia lebih sering berada di luar kota, atau luar negeri untuk melakukan pekerjaannya. Bisa dibilang, pekerjaannya tidak dibayar, ia melakukannya dengan suka rela. Ibu, dulunya adalah putri satu-satunya dari salah satu pengusaha tersukses di kota ini. Namun, 25 tahun yang lalu, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Otomatis, seluruh kekayaan jatuh ke tangannya. Namun, ia tidak tertarik sama sekali untuk melanjutkan bisnis keluarganya. Ia memilih untuk menjual seluruh aset yang dimiliki dan hidup berpetualang sekaligus menjadi relawan, karena memang, tanpa bekerjapun, harta Ibu tidak akan habis bahkan sampai sisa umurnya.

Ibu meninggalkan kami--aku dan Minhee--disaat usia kami 9 tahun. Ia ingin melanjutkan "pekerjaannya" yang sudah ia tinggalkan selama 10 tahun terakhir, mulai dari menikah, melahirkan dan mengurus kami. Aku tentu saja menentang hal itu. Bagaimanapun, aku adalah seorang perempuan, tentu aku membutuhkan kehadiran Ibu di hidupku. Apalagi, aku cucu perempuan satu-satunya di keluarga ini. Aku membutuhkan teman berbagi dengan jenis kelamin yang sama. Namun, ego Ibu membuatnya tetap pergi meninggalkan kami begitu saja, tanpa memedulikan pendapat kami sama sekali. Jadi sejak hari itu, aku membenci Ibu.

Family Time!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang