Happy Reading!
Awas Typo!
***
"Lo itu jahat, tapi gue suka. Lo itu dingin tapi gue suka. Lo itu keras kepala tapi gue juga suka. Kenapa gue harus suka sama lo sih?"
***
Tangis tak dapat merubah segalanya. Ia tahu itu. Tangis yang selama ini ia tumpahkan memang bukan untuk merubah keadaan. Tangis itu emosi seseorang, dan sekarang dia sedang ingin menangis, menumpahkan air matanya untuk melegakan hatinya yang tersayat.
Dia tak ingin kembali melakukan hal bodoh. Dia tak ingin menyakiti dirinya sendiri lagi. Tapi, dia butuh. Dan inilah hasil karya yang dibuatnya, mencoret tangannya sendiri dengan sebuah benda tajam lalu memainkan darahnya.
Dia tak merasakan sakit, karena setelah ini ia akan merasakan kelegaan. Persetan dengan semua yang peduli padanya, karena jika benar-benar peduli mungkin mereka mengerti apa yang dilakukannya ini bertujuan.
Dia masih berada di balkon kamarnya, menatap langit malam yang ditaburi bintang sambil memainkan darah yang mengalir ditangannya dengan sebuah cutter kecil.
"Letha?" Arletha membalik badan, menyembunyikan tangannya.
"Ngapain?" Tanya Arletha ketus.
Gerald tersenyum hangat, "Mau liat bintang sama Letha." Katanya menirukan bagaimana dia saat masih kecil, mengulang kembali kata-katanya dulu.
"Sana pergi!" Usir Arletha.
"Gue mau ngomong, penting." Kini Gerald menatap Arletha serius.
"Ngomong aja!"
Gerald menghela nafasnya, lalu duduk di ubin balkon yang dingin, diikuti Arletha.
Gerald sempat melirik tangan Arletha yang mengeluarkan darah, lalu menatap kembali Arletha.
"Kenzo--"
"Gue gak mau bahas itu!" Potong Arletha ketus.
"Tha, kali ini aja. Lo jangan biarin diri lo merasa bersalah lagi."
Arletha mendelik, "Ya udah cepet!"
Gerald menghela nafas, berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa semua ini adalah yang terbaik untuk kedua sahabatnya.
"Dia sakit, Tha."
Arletha memutar bola mata malas, "Ya terus urusannya sama gue apa?"
"Dia sakit parah. Dia punya penyakit yang ngancem nyawa. Dia gak mau lo sakit kehilangan dia nanti, lebih baik sekarang sebelum semuanya berakhir. Gue tau lo gak sebodoh itu untuk percaya aja sama gue, tapi ini bener adanya. Kenzo punya penyakit yang gak jauh beda sama gue dulu, untung juga gue masih selamat, masih dikasih waktu buat hidup. Tapi kita gak tau Kenzo bakal kayak gimana, kita bukan Tuhan yang nentuin takdir. Lo sakit, dia juga sakit. Terserah lo mau percaya apa enggak sama gue, karena gue bukan Tuhan yang patut lo percayai." Jelas Gerald.
Arletha diam, meresapi tiap kalimat yang diucap sahabatnya.
"Kalo dia tau gue bakal sakit hati, kenapa masih dilakuin?! Huh?" Nafasnya memburu, dadanya sesak, dia mengacungkan cutter nya ingin menggores kembali tangannya.
"Tha!" Gerald mencegah mencengkram lengan Arletha.
"Lepas!"
"KARENA DIA SAYANG SAMA LO! DIA NGELAKUIN ITU BIAR LO BENCI SAMA DIA, BIAR LO GAK MAU NGINGET DIA, DIA GAK MAU KALAU DIA MATI LO SEDIH! GAK MAU LO SAKIT HATI, THA!" Gerald membentak, nafasnya ikut memburu, mukanya merah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girlfriend (END)
Ficção Adolescente[Follow dulu yuk sebelum baca:)] "Lo! jadi pacar gue sekarang!" Ucap Kenzo lantang seolah perintah yang tak bisa ditolak. "Dih! Apa-apaan sih?!" Sinis Arletha. "Gak ada penolakan!" Setelah mengatakan itu ia pun melenggang pergi meninggalkan Arletha...