NCT LOKAL #2
"Cantik itu saat kamu menjadi diri sendiri."
Kaluna pernah mengalami masa terburuk dalam hidupnya, yang mengubah segalanya. Membuatnya memilih mencintai diri sendiri dengan cara berbeda.
Ketika standar kecantikan wanita diukur dari fis...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rajendra means lord of kings, raja dari para raja. Kalau boleh dibilang ia tak menyukai nama yang tersemat sebagai nama tengahnya itu. Rasanya terlalu berat menyandang nama yang dari maknanya saja sudah begitu luar biasa. Johannes atau Johnny tak masalah buatnya tapi Rajendra—lain ceritanya.
"Oiiii Mr Rajendra. How are you today?" sapa lelaki berambut gondrong sebahu itu begitu ia membuka pintu cafe dan menginjakkan kakinya di sana.
"Shut up, Han! Berhenti manggil gue pakai nama itu. It's very annoying," keluhnya membuka jaket kulit yang dikenakannya lalu meletakkannya ke gantungan baju yang berada di dekat pintu masuk. Tempat yang sedianya untuk mantel dan jas hujan milik pengunjung cafe.
"Kenapa sih? Arti nama elo tuh bagus."
"Terlalu berat menyandang nama itu," ucapnya memasuki area karyawan. Terkadang saat orang memanggilnya Rajendra artinya orang itu sedang meledeknya.
"Nama kan bagian dari doa orang tua Lo."
"Udah-udah jangan bahas nama gue lagi. Ngomong-ngomong gimana keadaan cafe? Ramai atau sepi?"
"Seperti yang elo lihat. Sepi," tunjuk Rehan menunjuk cafe yang kosong melompong. Sejak dibuka dua jam lalu hanya ada satu pembeli, itupun take away.
"Minuman yang elo buat nggak enak kali, Han. Makanya sepi," sindirnya menyilangkan tangan di depan dada.
"Sembarangan. Minuman buatan gue selalu dipuji pembeli ya. Makanan buatan Kent pun juga dipuji. Sepertinya masalah promosi dan lokasi yang menjadi masalahnya."
Ia menganggukkan kepala, mencermati dengan seksama keluhan dari Rehan.
"Masalah promosi nanti akan gue pikirkan kalau tempat gue nggak bisa bantu— tempat ini udah yang paling nyaman, Han."
"Kalau aja milih tempatnya di dekat kampus pasti cafe ini ramai, jadi tempat nongkrong buat mahasiswa. Sementara di sini? Sepi banget, Deket sawah, jauh dari jalan besar dan perumahan."
"Gue kan emang maunya konsep cafe ini jauh dari keramaian. Gue pengen orang yang ke sini mendapat ketenangan," jawabnya santai berjalan ke arah lantai dua cafe.
"Kalau mau yang sepi mending sekalian di kuburan aja, John!" teriak Rehan sedikit kesal juga menghadapi kekeras kepalaan sahabatnya itu.
"Ide bagus, Han. Mungkin bisa jadi referensi cafe kedua," jawabnya dari arah lantai dua yang langsung disambut wajah kesal Rehan. Rehan hanya berniat menyindir secara halus seorang Johannes Rajendra Wasupati.
***
Suara lonceng yang terpasang di atas pintu cafe yang akan berbunyi tiap pintu dibuka membuatnya meletakkan paku dan palu yang sedianya ia gunakan untuk memasang papan yang rencananya akan ia gunakan untuk memasang foto-foto hasil jepretannya.
Dua orang wanita memasuki cafe dengan tampang bingung. Tatapan mereka menjelajah ke sekeliling, seorang mencari seseorang. Penampilan kedua wanita itu sangat bertolak belakang, wanita yang bertubuh mungil, memiliki rambut panjang sepunggung. Rok selutut dan blazer abu-abu menghiasi tubuh mungilnya. Kesan imut dan menggemaskan begitu kentara. Sementara wanita yang satunya memiliki tubuh tinggi semampai, potongan rambut pendek di bawah telinga. Tubuh kurusnya terbungkus blazer hitam dan celana bahan hitam. Ia hampir menyangka wanita itu lelaki kalau saja ia tak melihat anting yang bertengger di kedua daun telinganya dan suaranya ketika berbincang dengan wanita yang satunya lagi. Kesan kuat dan berani terpancar dari wanita kedua.
Saat keduanya duduk di kursi yang terletak di dekat jendela, barulah ia melangkah menghampiri keduanya. Baik Rehan maupun Kent tak ada di cafe, karena itulah ia menggantikan tugas keduanya untuk melayani pembeli.
"Selamat siang. Selamat datang di cafe le reve," sapanya menyerahkan buku menu pada wanita berambut panjang yang paling dekat dengannya.
"Terimakasih. Aku pesan matcha latte kalau dia orange float," ucap wanita berambut panjang tanpa membuka buku menu. Ucapan gamblangnya yang menyebut dua menu andalan cafenya membuat ia ternganga sesaat sebelum akhirnya tersadar dan mencatat pesanan.
"Pegawai baru ya?" tebak wanita berambut panjang karena ia sangat kentara tak begitu luwes melayani pembeli.
"Ehmmm begitulah."
"Ah pantas saja, baru lihat. Ngomong-ngomong Rehan mana?"
"Sedang ada urusan sebentar. Jadi kalian sering ke sini?"
"Sangat sering. Langganan malahan." Senyum wanita berambut panjang terkembang, menunjukkan deretan gigi kelincinya yang putih dan menggemaskan.
"Oh seperti itu. Mohon tunggu pesanannya ya."
Si wanita berambut panjang mengangguk dan tersenyum dengan ramah, sementara wanita satunya memilih diam dan fokus dengan tabletnya.
Ehmmm aneh.
Ia selalu merasa berat menyandang nama Rajendra tapi—hari itu ia suka saat seseorang memanggil namanya—
"Nama Lo Rajendra ya."
"Bagus..."
"Gue suka nama Lo."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.