19. Takdir Yang Lucu

314 85 26
                                    

"Selamat, Luna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selamat, Luna."

Ucapan Johannes membuat Lulu membeku di tempat, melayangkan pandangan pada tangan Johannes yang bebas di udara, tak kunjung dijabat olehnya.

Tak mendapat respon apapun dari Lulu membuat Johannes menurunkan tangannya. Entah apa yang membuat wanita di depannya itu enggan menerima ucapan selamat darinya. Atau mungkin wanita itu terlalu kaget mengetahui ia tahu soal acara lamarannya.

"Mbak Lulu, permisi..." Suara seorang wanita menginterupsi, membuat Johannes dan Lulu menoleh ke sumber suara, ke arah empat orang wanita yang Lulu kenal betul. Ibu-ibu kompleks yang keponya minta ampun dan suka menggosipkannya dan kakaknya.

"Iya, Bu Ningsih," jawab Lulu pada wanita di depannya itu.

"Acara lamarannya udah selesai?"

"Sudah kok, bu. Ada apa ya?" tanya Lulu melihat keempat ibu-ibu kompleks yang berdandan cantik dan berpakaian rapi itu.

"Mau ke rumah buat memberi selamat ke mamanya mbak Lulu," jelas bu Ningsih.

Lulu memaksakan sebuah senyuman. Tatapannya beralih pada kantong plastik besar di tangan Bu Ningsih, entah apa isinya.

Menyadari tatapan Lulu tertuju pada kantong plastik di tangannya, Bu Ningsih kembali bersuara. "Ini hadiah buat mamamu, sebagai tetangga kan kita harus berbagi kebahagiaan."

Lulu tak melunturkan senyumannya, walau terpaksa. Kata-kata bu Ningsih sedikit menggelitiknya, mereka mau memberi selamat? Padahal mereka sering menggosipkan keluarganya.

"Silahkan ke rumah aja, Bu. Mama di rumah, kok."

"Siap-siap. Ngomong-ngomong," tak beranjak dari tempatnya Bu Ningsih kembali memulai pembicaraan dengan Lulu. "Mas Bara tampan ya."

Lulu sedikit kaget ibu-ibu kompleks itu sampai tahu nama Bara. Ia tahu baik mama maupun kakaknya tak akan menceritakan itu pada ibu-ibu kompleks.

"Dari keluarga ningrat lagi," tambah bu Desi yang berada di samping Bu Ningsih.

"Dokter lagi. Duh pokoknya impian sekali. Jadi pengen punya menantu seperti mas Bara," sahut Bu Ningsih.

Ah dokter, batin Johannes.

"Tampan, kaya, punya pekerjaan mapan, keluarga ningrat. Bibit, bebet, bobotnya kualitas tinggi," lanjut Bu Desi.

Obrolan itu malah membuat Lulu tak nyaman.

Gue lebih kaya, beli rumah sakit tempat lelaki itu kerja juga bisa, batin Johannes mendengar pujian selangit yang dilontarkan ibu-ibu kompleks itu.

"Ibu-ibu tidak jadi ke rumah?" tanya Lulu sekedar mengingatkan tujuan mereka untuk menemui ibunya bukannya malah bergosip.

"Jadi dong."

ETHEREALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang