18. Celaka

86 14 0
                                    

Perpisahan yang paling menyakitkan adalah; berpergi tanpa pamit dan meninggalkan tanpa salam.

•••

Pagi hari ini mungkin bisa dikatakan sedikit berbeda dari pagi pagi sebelum nya, dimana hesya mungkin lebih terbiasa disuguhkan dengan ruangan yang kosong karena sang abang kadang kadang sudah berangkat lebih dulu dan meninggalkan hesya seorang dirumah.

Tetapi, pagi kali ini hesya merasa senang, merasa kebahagian nya kembali lengkap saat ketika ia keluar kamar dan melihat penampakan ruang makan yang begitu harmonis.

Papah yang sibuk memasak nasi goreng dan abang yang sibuk menemani nya, ya lelaki itu hanya duduk sembari mengobrol entah apa topik yang di bahasa para lelaki tersebut.

"Woah rupanya sang tuan putri sudah bangun, selamat pagi tuan putri." Kata nya begitu saat melihat adik semata wayang nya yang sudah berjalan ke arah meja makan.

Hesya melirik tajam ke arah lelaki yang bercuit tersebut, dia tak menggubris nya dan langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan haikal.

"Mau sarapan apa 'dek?" Tanya sang papah yang sudah berpenampilan rapih di balik apron masak.

"Hesya roti aja pah." Jawab nya dengan mata yang jelalatan melihat beberapa barang yang terkemas dengan koper di sebelah nya.

"Papah langsung mau balik ke surabaya lagi?" Hesya melemparkan sebuah pertanyaan.

Lelaki yang diberi pertanyaan tak langsung menjawab. Ia melepas apron masak nya setelah menaruh dua piring nasi goreng di meja makan. Lalu ia mulai menyiapkan roti untuk sang anak gadis nya.

"Iya 'dek, kemarin papah udah beli tiket nya. Masih susah dapet cuti sya." Balas pria tersebut sembari memberikan setangkap roti tawar untuk hesya sarapan.

Hesya menggigit roti nya sembari menghela napas panjang. Mengunyah roti demi roti dengan tidak bergairah. Semangat nya yang tadi telah terkumpul kini hilang entah kemana.

Haikal yang tidak suka melihat ekspresi sang adik nya itu pun berdecak kesal. "Gak usah kayak gitu, lo udah gede jangan manja. Ini bukan pertama kali nya, lo tau sendiri papah di Surabaya tuh kerja buat kita." Omelnya.

Papah terkekeh melihat tingkah laku anak anak nya. Kedua anak remaja tersebut pun menatap ke arah pria yang baru saja terkekeh.

"Lima hari lagi kan? Lima hari lagi bayi perempuan papah makin bertambah dewasa." Ujar nya yang seketika membuat hati hesya kembali sejuk.

"Hesya kira papah lupa. Trus kalo papah inget kenapa papah balik ke surabaya? Tahun ini sama kayak tahun kemarin ya? Ngerayain ulang tahun nya lewat vidio call lagi?" Hesya tersenyum.

Kalau soal ini, haikal tidak tega. Diam diam ia menatap adik nya dengan rasa simpati. Ia tahu, adik nya memang bukan adik yang manja, tapi jika dipikir pikir lagi, adik nya tidak bisa ia samakan dengan dirinya, adik nya itu perempuan yang mana pasti hati nya lebih lemah dibanding dirinya.

Sungguh sedih juga bila di bayangkan, tahun lalu ulang tahun nya yang ke tujuh belas yang mana pada umum nya anak anak merayakan pesta dengan keluarga dan teman teman nya namun hesya hanya meniup lilin di atas kue brownies pemberian haikal dengan bertatapan di layar ponsel bersama sang papah.

Haikal tidak peduli dengan ulang tahun diri nya sendiri, dia sudah terbiasa tanpa papah dan tanpa mamah. Tapi, dia sungguh tidak bisa melihat adik nya yang harus merasakan apa yang dirinya rasakan.

"Yailah masih lima hari lagi, ribet banget si lo." Ujar haikal menatap adik nya tersebut membuat air muka hesya semakin memburuk.

"Tahun ini kita rayain bareng bareng oke? Kita doa sama sama di umur hesya yang ke delapan belas ini, hesya, abang, papah, mamah, nanti kita kumpul semua." Pria berkemeja putih tersebut menerbitkan senyum teduh nya.

IncognitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang