"Hidayah. Bukan persoalan siapa cepat dia dapat, tapi persoalan siapa yang mau menjemput dia yang beruntung"
****
Perdebatan yang terjadi membuatku merasa sangat lelah. Ku pejamkan mataku sejenak untuk mencari mimpi indahku.
"apa ini? Mengapa gelap seperti ini? Kemana semua orang? Mama! bapak! aku takut!" teriakku sambil menangis.
"Mama! Bapak! Tolong Laras!" aku terus berteriak, berharap ada yang menolongku.
Aku terus berlari mencari jalan keluar namun nihil, aku tak mendapatkan apa-apa. Tak ada pintu ataupun lubang untuk aku bisa keluar. Sungguh aku sangat takut.
"Apa itu? Cahaya?" kataku sambil memicingkan mataku, berharap yang aku lihat tidaklah salah.
" Yah, itu cahaya! Mungkin ada pintu disana. Mungkin itu jalan keluarnya. Aku harus secepatnya berlari kesana." kataku antusias, sambil mengusap kasar air mataku.
Semakin aku berlari, semakin cahaya itu menjauh. Hingga aku benar-benar lelah, tak sanggup lagi kakiku melangkah. Aku terhuyung dan jatuh. Aku menangis sekencang-kencangnya. Aku sangat takut. Kemana aku akan pergi. Tak ada yang menolongku.
Kupejamkan mataku mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba aku mendengar jeritan yang sangat kencang.
"Larasss....!"
Aku melonjak kaget.
" Ya ampun. Hanya mimpi!" kataku sambil mengusap keringat yang membanjiri keningku.
" Mengapa mimpiku seperti ini? Apa maksud dari semua ini? Mengapa aku begitu takut?" kataku khawatir.Kulirik jam di tangan menunjukkan pukul delapan malam. Kepalaku terasa begitu berat, dan perutku pun begitu lapar. Tapi, kuurungkan niat untuk pergi ke dapur,
Karena sudah pasti di dapur tak ada makanan yang bisa kusantap.Aku memilih melanjutkan tidurku. Dan aku berharap aku tidak akan bermimpi seperti tadi.
Kuputar alarm tepat pukul enam pagi, agar aku tidak ketinggalan bus besok dan pastinya aku tak akan terlambat untuk kedua kali.
***
"Aku tadi malam mimpi aneh," kataku pada Tasya dan Sinta sesampainya di sekolah.
"Mimpi apa,Ras?" respon Tasya.
"Aneh gimana loh?" Sinta menambahi.
"Aku mimpi ada ditempat yang benar-benar gelap. Aku teriak-teriak tapi gak ada yang dengar," kataku mulai khawatir.
Aku menarik nafas dan menghembuskan perlaham. " Aku lari kesana kemari tapi tetap aja gak ada jalan keluar," lanjutku dengan penuh kekhawatiran. Aku luapkan semua pada kedua sahabatku. Mereka mendengarkan dengan penuh keseriusan."Lanjut ,Ras!" kata mereka antusias.
"Tunggu tarik nafas dulu," kataku dengan wajah cemberut. Mereka hanya cengengesan.
"Aku terus berlari. Dan aku melihat ada cahaya. Aku fikir itu adalah jalan keluarnya. Aku terus berlari mendekati cahaya itu. Tapi semakin aku berlari, cahaya itu semakin menjauh. Sampai aku benar-benar lelah. Aku pun terjatuh. Tiba-tiba ada suara laki-laki yang begitu keras memanggil namaku. Suara itu yang membangunkanku." butiran bening mulai menetes dari mataku yang indah.
"Sepertinya ada maksud tersendiri dari mimpi itu,Ras," kata Sinta mencoba menerawang.
"Sepertinya begitu, Sin. Tapi, aku tak tau maksudnya apa," jawabku takut.
"Mungkin itu hidayah biar kamu gak durhaka sama orangtua,Ras." ceplos Tasya.
"Tasya! Jangan begitu lah. Laras lagi takut harusnya kamu itu nenangin dia!" bentak Sinta.
"Iya maaf. Kan aku cuman bercanda, biar gak tegang, gitu, " kata Tasya sambil cengengesan.
"Sudah gak apa-apa,Ras. Gak usah terlalu difikirkan. Itu kan hanya bunga tidur," kata Sinta mencoba menenangkanku.
"Semoga aja gak ada apa-apa, Sin." jawabku cemas.
Setelah kejadian itu, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku lebih sering merenung. Ketakutanku pada mimpi itu membuat keceriaanku perlahan hilang.
Namun, kedua sahabatku terus menyemangatiku. Memberikan suport dan selalu ada disaat aku membutuhkan.
Mereka mencoba mengembalikan semangatku seperti dulu lagi.***
"Laras. Sini,Nak. Ada yang mau bapak bicarakan," kata bapak yang membuyarkan lamunanku ketika aku duduk sendiri di gazebo belakang rumah.
"Ada apa, Pak?" jawabku singkat.
"Akhir-akhir ini bapak perhatikan kamu jadi lebih banyak diam. Ada apa?" tanya bapak.
"Gak ada apa-apa,Pak. Laras cuman kecapean aja." jawabku ringan.
"Kalau ada masalah cerita sama bapak. Jangan dipendam sendiri. Nanti kamu sakit loh,Nak," kata bapak mencoba menenangkanku.
" Ini adalah masalahku,Pak! Bapak gak perlu sibuk mengurusi masalahku! Lebih baik bapak urus sawah bapak supaya panennya melimpah dan bisa beliin aku motor. Capek Laras, Pak! Hari-hari cuman nunggu bus di pinggir jalan!" bentakku sambil berlalu meninggalkan bapak.
Terkejut bukan main dengan perkataanku,bapak hanya bisa menutup wajahnya dengan jari-jarinya. Mungkin ia merasa bahwa ia telah gagal mendidik anak semata wayangnya. Namun, lagi-lagi aku tak peduli.
"Tasya. Main yuk. Bosan aku dirumah terus" sapaku pada tasya lewat benda pipihku.
"Oke. Ditempat biasa yah,Ras. Nanti aku ajak Sinta"
"Oke"
***
Aku berjalan menyusuri trotoar menuju tempat tongkronganku bersama Tasya dan Sinta yang tak jauh dari rumah. Rumah kayu yang sengaja Tasya buat dengan membayar tukang untuk dijadikan tempat tongkrongan kami setiap hari.
Ada beberapa alat olahraga yang sengaja disiapkan Tasya agar kami bisa olahraga sambil bermain.
Ada bola basket, bulu tangkis dan alat pemanah. Ini lah yang membuatku begitu mahir dalam bidang memanah dibanding Tasya dan Sinta.
"Sudah dari tadi?" sapa Tasya mengagetkanku.
"Lumayan," jawabku singkat sambil memainkan panah.
"Sudah ahli memanah tapi gak mau ngajarin kita," Rutuk Sinta sambil menghentakkan kakinya kesal.
"Kalian aja yang diajarin gak pernah mau." aku memutar bola mata malas.
"Ya kamu ngajakinnya waktu kita lagi asik main game. Yah siapa yang mau coba kalau begitu," balas Sinta sambil menaiki anak tangga dan duduk disamping Tasya yang lebih dulu ada dirumah pohon.
"Yaudah lain kali deh," jawabku sambil menaiki anak tangga dan duduk disampingnya.
"Sekarang kita happy-happy yah guys! Lihat nih aku sudah bawa banyak makanan yang bakal nemenin kita main game!" Kata Sinta antusias.
"Yuhuyyy....!" teriakku dan Tasya penuh semangat.
Berjam-jam kami bermain game Tanpa memperdulikan waktu.
Hingga sapaan senja menyadarkan kami dari kebahagiaan singkat tapi berkenang.
Entah panasnya matahari yang terlalu singkat, atau lelahnya senja yang menunggu untuk menampilkan cahaya redupnya." Aku pulang duluan yah. Sudah sore. Dadahhh...." pamitku pada mereka yang masih berkutip pada gamenya
"Oke. Hati-hati Laras!" jawab mereka serempak tanpa mengalihkan pandangan dari benda pipih berlambang apel tergigit.
***
Ikuti terus yah kelanjutan kisahnya.
Masih banyak kejutan-kejutannya loh guys
Jangan lupa vote dan komen yah....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Hijrah Menjemput Halal[COMPLETE]
RomanceKehidupan Laras yang mengikuti perkembangan zaman. Selalu ingin dikelilingi kemewahan tanpa memikirkan kehidupan ekonomi keluarga yang selalu merosot. Selalu mengumbarkan auratnya tanpa memikirkan dosa yang ia limpahkan kepada ayahnya setiap hari. Y...