Part 24

296 28 0
                                    

"Rindu yang paling berat adalah merindu kepada seseorang yang pergi selamanya"

*****

Lantunan Yaasiiin terngiang jelas ditelingaku membuatku tersadar.
Kubuka perlahan mataku yang terasa begitu berat.
Yang terlihat pertama kali adalah pelapon warna ungu lavender. Jelas saja, ini adalah kamarku.
Entah berapa menit aku tak sadarkan diri.
Hingga aku tak sadar jika aku sudah berada didalam kamar.

" Laras sudah sadar?" tanya Tasya khawatir.

"Alhamdulillah, Ras. Kamu sudah sadar. Hampir 1 jam kamu pingsan, Ras. Kita semua khawatir," kata Sinta tak kalah khawatirnya dengan Tasya.

"Jam berapa?" tanyaku tak berdaya.

" Jam setengah 6 , Ras." jawab Sinta.

" Kamu mau kemana, Ras? " lanjut Sinta khawatir karena aku bangkit dari tidurku.

" Aku belum shalat, Sin." jawabku lemah.

" Aku bantu yah." Sinta langsung menuntunku masuk ke kamar mandi.

Beruntung kamar mandiku hanya disebelah kamarku, jadi aku tak perlu berjalan jauh untuk mengambil air wudhu.

Aku shalat dengan penuh kekhusyu'an. Kutahan air mataku yang terus saja berlomba-lomba untuk keluar.
Hingga disujud terakhirku, aku sudah sangat tidak tahan.
Kutumpahkan segala kesedihan dalam sujudku yang teramat panjang.

Aku meminta dan memohon dengan air mata yang terus membanjiri. Memohon agar bapak ditempatkan disisi Sang Pengatur Kehidupan.

" Sudah selesai, Ras? Kamu mau keluar? " tanya Tasya saat aku mulai melipat mukenahku.

" Iya ,Sya. Aku mau baca Yaasiin untuk bapak," kataku lemah.

" Kita bantu keluar yah,Ras. Kamu masih lemas sekali. Takutnya kamu jatuh nanti," kata Sinta.

Aku hanya mengangguk. Tak mampu lagi mulutku untuk mengeluarkan kata.

Kulihat ruang tamuku sudah dipenuhi tetangga. Membawa pita hitam kepada keluargaku.

Terlihat juga Fahmi sedang membaca Yaasiin dengan khusyu'.
Disamping kanan mama, terlihat Vara sedang duduk.

Aku mendekati mama dan Vara. Duduk disamping mama.
Kutempelkan kepalaku dibahu mama.
Melihat tajam kearah bapak yang sudah tertutup kain kafan. Membuatku tak sanggup untuk melihat wajahnya.

" Bapak sudah tenang, Ras. Ikhlaskan yah. Jangan lupa selalu do'akan bapak," kata mama sambil mengelus kepalaku.

Tak ada jawaban dari mulutku. Aku hanya mampu meneteskan air mata.
Walaupun hati sudah berusaha kuat untuk mengikhlaskan, namun kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidup untuk selama-lamanya tetap saja membuatku tak berdaya.

Kubuka lembaran mushafku. Sedikit demi sedikit kubacakan Yaasiin untuk bapak.
Tetesan air mata tetap tak kunjung reda.

Jam setengah tujuh, setelah dishalatkan didalam rumah, bapak mulai ditidurkan dalam keranda dan siap dikebumikan.

Aku menjerit dalam hati ketika bapak dibawa diatas pundak oleh beberapa orang laki-laki. Fahmi pun turut membawa bapak dalam pundak kanannya.

Air mataku semakin tak karuan membasahi pipiku. Berlomba-lomba untuk keluar dari sepasang mataku yang indah.

Aku kembali tak berdaya. Membuatku harus tak sadarkan diri lagi dalam pelukan mama.
Lagi dan lagi aku menambah kekhawatiran bagi orang-orang yang menyayangiku.

****

" Ras. Kamu sudah siuman?" tanya mama dengan penuh kepanikan saat aku mulai membuka mata sembabku.

" Minum dulu, Ras. Tenangkan hati kamu." Sinta membantuku minum.

Aku hanya sekali meneguk. Terasa begitu pahit tenggorokanku.
Membuatku sedikit mual.

" Kak Laras. Gimana keadaannya. Vara dari tadi khawatir nunggu kak Laras siuman." kata Vara yang tak kalah khawatir.

Aku hanya tersenyum. Walaupun Vara tak melihatnya.
Bibirku terasa kelu untuk sekedar mengucap kata baik.
Yang aku bisa hanya lah mengembangkan bibirku.

" Assalamu'alaikum," sapa seorang pria yang sangat tak asing. Fahmi.

" Wa'alaikumsalam," jawab semua orang yang ada dikamarku.

" Maaf menganggu," kata Fahmi, dia masuk kedalam kamarku dan berdiri disamping Vara dengan tatapan sendu kearahku.

" Vara kita pulang, Yah. Mama sudah menelfon." kata Fahmi pelan, tapi cukup terdengar jelas ditelingaku. Vara hanya mengangguk sambil tersenyum.

" Kak Laras. Vara dan Bang Fahmi pulang dulu yah. Nanti kalau ada waktu senggang, Vara main-main kesini lagi," kata Vara berpamitan.

Lagi dan lagi, aku hanya tersenyum.

"Ras. Aku pamit, yah. Jaga kesehatan baik-baik. Assalamu'alaikum," kata Fahmi sambil tersenyum.

"Wa'alaikumsalam," jawabku walau begitu berat membuka mulut.

Satu persatu kerabat mulai pulang kerumah masing-masing.
Tasya dan Sinta pun ikut berpamitan untuk pulang.

Kini hanya ada aku dan mama dirumah,  tatapan mama yang berusaha untuk tegar.
Senyuman yang jelas tergambar begitu berat, namun ia tetap berusaha menampakkannya agar aku bisa tegar seperti dirinya.

" Mama mau mandi dulu yah, Ras." pamit mama.

Aku hanya mengangguk.
Pintu kembali tertutup. Kini aku sendirian.

Kutatap pelapon rumahku.
Sebelum bapak pergi, bapak berusaha keras untuk membahagiakanku dan mama.

Kutatap dengan lekat pelapon kamarku. Membayangkan betapa besar kerja keras bapak untuk membahagiakanku.
Kamarku yang dulu selalu bocor ketika hujan turun, kini sudah tertutup dengan pelapon cantik berwarna ungu lavender.

Sawah yang menjadi harta satu-satunya untuk keluargaku, yang merubah hidupku menjadi seperti ini harus hancur dan membuat bapak kehilangan nyawa.

Perbuatan bejat dari orang yang iri terhadap keberhasilan bapak, membuatnya melakukan segala cara agar sawah bapak hancur.

Orang itu sengaja mencampurkan pupuk bapak dengan racun pembunuh tanaman. Dan akhirnya padi bapak mati.

Bukan hanya itu, ia juga sampai menyewa beberapa kerbau dimalam hari untuk mengacak-acak sawah bapak.

Bapak begitu syok ketika melihat sawahnya hancur berantakan.
Bapak yang sudah divonis darah tinggi sejak aku SMP, membuat darah tinggi bapak naik seketika dan jatuh dipematang sawah.

Beruntung ada tetangga bapak yang lewat dan segera membawa kerumah sakit.
Mama yang mendengar kabar itu, segera pergi ke rumah sakit.

Bapak tak sadarkan diri. Hingga pukul 09:30 malam, bapak menghembuskan nafas terakhirnya.

****

Teringat hp ku yang masih lobet, aku segera menggeledah tasku dan menchargernya.

Kuaktifkan hp ku. Dan benar saja, ada 20 pesan whatsap dari Bi Siti. Adik perempuan mama.
10 telfon dari Sinta dan Tasya.
10 pesan whatsap dari Fahmi dan Pak Herman. Namun tak ada satupun yang aku baca karena hp ku lobet.

Hingga Fahmi dan Pak Herman mengajakku pulang mendadak.
Mereka tidak memberitahuku keadaan yang sebenarnya, karena takut aku syok disana.

Air mataku mengalir deras tanpa bisa kucegah.
Kenangan-kenangan indah bersama bapak masih membekas jelas diingatan.
Bahkan kedurhakaanku dulu pun masih terlihat jelas dalam memori.

Aku belum sempat membahagiakannya. Aku belum sempat menjadi anak yang membanggakan. Dan aku belum sempat menjadi anak yang sholehah yang sangat ia idamkan.

" Bapak... Laras rindu...." kataku pelan dengan air mata yang terus membanjiri.

****

Rindu yang paling berat adalah merindu kepada orang yang sudah tak pergi untuk selamanya..:-(

Jangan lupa tinggalin vote dan komen yah...:-)

Mahkota Hijrah Menjemput Halal[COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang