Part 16

302 34 0
                                    

"Aku tidak pernah menuntut lebih dalam menjalani hidup. Aku hanya ingin agar aku bisa meraih impianku, berdiri diatas mimbar kewisudaan sebagai bukti kerja kerasku. Memberikan mahkota kepada kedua orangtuaku dan mencium tangan keriput mereka dengan penuh cinta."

*****

"Pak. Aku sebentar lagi lulus. Teman-temanku sudah mulai mempersiapkan diri untuk kuliah. Aku ingin lanjut kuliah, Pak," kataku memcoba mengutarakan perasaan setelah kami shalat isya berjama'ah.

"Bapak dan mama tau, Nak. Kalau kamu mau kuliah. Tapi lihatlah kondisi kita. Bapak sudah sangat bersyukur bisa menyekolahkan kamu di sekolah impian kamu. Susah payah bapak dan mama mencari biaya. Namun, kalau untuk persoalan kuliah, itu membutuhkan biaya yang berkali-kali lipat. Bapak dapat uang dari mana, Ras." jelas bapak dengan raut wajah sedih.

"Orangtua mana yang tidak ingin melihat anaknya sukses, Ras. Orangtua mana yang tidak mau melihat anaknya memakai baju wisuda. Tapi kuliah itu bukan persoalan mudah, Ras," kata mama melanjutkan.

"Tapi Ma, pak. Biasiswa sekarang sudah banyak. Laras akan berusaha agar Laras bisa kuliah tanpa membebani kalian. Laras hanya butuh restu," kataku sambil meneteskan air mata.

"Aku anak semata wayang kalian. Seharusnya mama dan bapak mengusahakan agar aku bisa kuliah. Rezeki sudah ada yang ngatur. Aku hanya ingin mama dan bapak merestui dan mendo'akan," lanjutku sambil terisak.

"Laras. Gak semua sukses harus melalui gelar sarjana," kata bapak meyakinkanku.

"Tapi Laras punya cita-cita besar, Pak. Laras ingin jadi seorang dokter." kataku tanpa menghengikan isak.

"Ya Allah, Ras. Biaya untuk menjadi seorang dokter itu sangat besar. Dari mana kita bisa dapatkan uang itu. Walaupun kita jual sawah kita, tetap uangnya gak akan cukup,Ras." sergah mama.

"Ma, Pak. Laras hanya butuh do'a. Restui Laras agar jalan mengejar cita-cita bisa mudah," jawabku sambil menangis.

"Ras! Dengarkan perkataan kami. Jangan egois!" kata bapak mulai terbawa emosi karena aku terus memaksa untuk kuliah.

"Kalau mama dan bapak gak merestui. Maaf, Laras terpaksa harus pergi sendiri ke kota. Laras akan kuliah sambil kerja." ancamku.

"Laras!" suara bapak meninggi.

"Bapak!" bentak mama.
"Kita usaha dulu pak. Kalau kita gak sanggup baru kita bicarakan selanjutnya. Laras, fikirkan lagi niatmu. Kalau memang kita gak mampu kuliahkan kamu, kami mohon mengertilah, Nak. Kita orang tak punya. Jangan memaksakan takdir." pinta mama dengan mata berkaca-kaca.

Aku tak bisa berkata-kata. Hanya air mata kekecewaan yang dapat menjawab semua.
Aku memilih meninggalkan mereka dan masuk kedalam kamar.

Kutahan tangisku dengan menenggelamkan wajahku dibantal yang empuk.

Sangat menyakitkan ketika cita-cita harus terhalang oleh restu orangtua.

Cita-cita yang sangat aku impikan tapi kini hancur begitu saja.
Bintang yang sebentar lagi dapat kugapai, tapi kini tertutup awan hitam.
Lalu untuk apa aku pertahankan semua nilaiku jika kini untuk mengejar mimpi saja aku tak sanggup?

Impianku, cita-citaku, dan bintangku kini hancur begitu saja.

Apakah hanya orang ber uang yang boleh sukses?
Apakah hanya orang kaya yang boleh menggapai cita-citanya?
Apakah hanya orang kaya yang boleh duduk dibangku perkuliahan?
Lalu bagaimana dengan orang sepertiku?
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki uang?
Apakah kami tidak boleh sukses?
Apakah kami tidak boleh duduk dibangku kuliah?

Hatiku hancur. Ini jauh lebih menyakitkan dari penolakan Fahmi.

Aku menangis sejadi-jadinya.
Sungguh sangat sakit.

Begitu lelah aku menangis tanpa sadar aku telah tenggelam dalam tidurku.
Kucoba mencari mimpi yang hilang.
Aku berharap kejadian tadi hanyalah sebuah mimpi buruk.

[Allahuakbar... Allahuakbar...!]

Aku terbangun mendengar azan subuh.
Begitu sulit kubuka mataku. Begitu lengket dan berat.

Kugerakkan jemariku menyentuh indra penglihatanku. Aku merasa ada yang lain dengan mataku.

Perlahan aku bangkit dan melihat wajah dicermin. Wajahku terlihat begitu sayu dengan mata sembab.

"Ternyata itu bukan mimpi" batinku sambil mengelus mataku

Kulupakan sejenak rasa kecewaku.
Bergegas aku mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat subuh.

Butiran bening itu perlahan membasahi sajadahku saat aku sujud kepada Rabbku.
Kuluapkan segala isak tangisku kepada Sang Pemberi Kehidupan.
Kuberdo'a dengan begitu khusyu' agar aku diberikan kemudahan.

Beruntung hari ini adalah hari minggu jadi tak ada yang nengetahui masalahku.
Setelah shalat subuh dan membaca Alqur'an beberapa lembar, aku langsung menyambar jilbab pemberian Vara lalu mengendarai roda duaku menuju pantai untuk sejenak melihat matahari terbit.

Kuhembuskan nafasku dalam-dalam. Kutarik segala kegundahanku. Istighfar tak pernah lepas dari bibirku.

Kuraih benda pipih yang sedari tadi berdiam disaku gamis, kunyalakan data dan terlihat beberapa notif pesan wa dari nomor baru.

082271xxxxxx

"Assalamu'alaikum, Ras.
Ini aku Fahmi.
Dapat pesan dari Pak Herman
kalau hari ini kita harus kesekolah."

Bibirku perlahan tersenyum. Awan hitam itu perlahan tertiup angin dan pindah ketempat yang jauh. Segera ku save nomor sang pangeran hati.

Laras

" Wa'alaikumsalam. Jam berapa?"

Pesanku langsung centrang biru. Begitu cepat Fahmi membukanya. Membuatku sejenak melupakan masalahku.

Calon Suami❤

"Jam 9 pagi."

Laras

"Oke"

Kulirik jam. Masih pukul 6. Begitu malas aku pulang. Aku ingin menikmati suasana pantai dipagi hari.

Pukul 8 kuputuskan untuk pulang, tapi bukan pulang kerumah melainkan  kerumah Sinta dan meminjam pakaiannya.

"Kenapa sih,Ras. Kamu ada masalah apa lagi sama orangtuamu?" tanya Sinta saat aku baru saja sampai.

Kuceritakan semuanya pada Sinta, dan benar saja, hatiku sedikit lega.

" Aku gak bisa bantu apa-apa,Ras. Aku cuman bisa bantu do'a semoga orangtuamu bisa berubah fikiran," kata Sinta menenangkanku saat aku memeluk erat tubuh rampingnya.

"Gak apa-apa,Sin. Itu sudah lebih dari cukup," kataku terisak.

"Semangat yah ,Ras. Kalau ada apa-apa bilang ke aku, yah." katanya sambil melerai pelukan.

"Makasih,Sin." aku mencoba untuk menyunggingkan senyum.

"Yaudah kamu siap-siap sana. Nanti pangeran Fahmi nungguin loh," kata Sinta mencoba menggodaku. Sedangkan aku hanya mencubit pelan lengannya.

"Apa sih, Sin." jawabku terkekeh. "Yaudah aku mandi dulu yah" lanjutku.

"Oke" jawabnya sambil memberikan jempolnya.

*****

Ada yang punya nasib sama kayak Laras gak??

Kalau ada, kalian adalah terhebat.
Jangan putus asa yah...
Pasti ada jalan selama kalian mau berusaha...:-)

Happy reading

Mahkota Hijrah Menjemput Halal[COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang