Part 10

373 36 0
                                    

"Bukan aku menyerah, aku hanya sedang beristirahat. Melupakan cara lamaku yang sudah basi.
Aku pasti akan datang kembali, dengan membawa Berjuta-juta cara baru untuk menggenggam hatimu"

******

Kurebahkan tubuhku diranjang kesayangku dan kutatap langit-langit. Semua terasa hambar setelah aku mendengar kata-kata dari Fahmi.

Sejak pulang sekolah, aku hanya mengurung diri dikamar. Mama berulang kali mengetuk pintu kamarku menyuruhku makan, tapi aku terus menolak dengan alasan aku sudah kenyang.

Kulirik jilbab yang menggantung didinding kamar. Aku beranjak dan mengambilnya.

"Apakah aku harus memakainya?" tanyaku ragu pada diri sendiri.

"Mengapa harus benda ini. Aku belum siap memakainya" kataku lagi sambil menangis.

Aku mencoba memakainya. Kulihat diriku dipantulan cermin. Sungguh jauh berbeda dengan diriku. Berbanding terbalik dengan sifatku.

Kulemparkan jilbab itu kekasur. Kuambil kunci motor dan mengendarai motorku untuk mencari ketenangan. Tidak ada tempat yang bisa memberikanku ketenangan kecuali pantai. Letaknya yang tak jauh dari rumah membuatku lebih sering menenangkan diri disini.

Kupandang jauh laut yang kini ada didepanku. Ombaknya yang berkejar-kejaran membuat celana bagian bawahku sedikit basah.

Kuedarkan pandanganku kesegala arah dan mataku tertuju pada seseorang yang duduk sendiri di gubuk-gubuk pantai dan menatap jauh kearah laut.

Angin pantai membuat jilbabnya beterbangan menambah kesan kecantikannya.
Kupertajam penglihatanku dan ternyata aku benar, itu ada Vara. Varadiba.

Aku berjalan mendekat. Barangkali berbagi cerita dengannya membuatku lebih tenang.

"Assalamu'alaikum, Vara." sapaku.

"Wa'alaikumsalam. Hemmm... ini kakak yang lalu nabrak aku kan? Kak Laras kan? " tebaknya.

" Iya. Kamu masih ingat ternyata. Boleh aku duduk disini?" pintaku.

" Jelas masih lah, kak. Iya silahkan duduk." jawabnya dengan senyum sumringah.

" Vara sendirian?" tanyaku karena tidak melihat Fahmi ataupun orang lain yang bersamanya.

"Aku tadi sama abang Fahmi. Tapi dia pergi sebentar kemasjid. Sholat asar. Aku kan lagi gak sholat jadi aku tunggu disini deh," jawabnya polos.

" Vara...." panggilku halus.

"Iya, Kak," jawabnya sambil menoleh kearahku, walaupun tatapan matanya kosong.

" Kamu sudah lama pakai jilbab?" tanyaku penasaran.

"Alhamdulillah, Kak. Sejak aku kecil," jawabnya sambil tersenyum.

" Atas keinginan kamu sendiri atau ada paksaan dari orangtua ataupun Fahmi?" tanyaku semakin penasaran. Entah mengapa, ingin sekali aku menanyakan ini.

" Sama sekali tidak ada paksaan, Kak. Awalnya mama dan bapak selalu menasihatiku bahwa wanita itu wajib pakai jilbab. Mama juga selalu membelikan aku bermacam-macam model jilbab. Lama kelamaan aku merasakan nyaman pakai jilbab.  Akhirnya sampai sekarang aku pakai jilbab deh," jawabnya dengan penuh semangat.

"Gak risih atau panas gitu kamu pakai jilbab?" tanyaku sambil memperhatikan jilbab panjangnya.

" Awalnya gerah, Kak. Risih juga. Tapi mama selalu nasihatin kalau api neraka lebih panas dari ini," katanya semakin antusias.

" Terus kamu pakai jilbab sepanjang ini memangnya gak takut dibilang kayak ibu-ibu?" tanyaku sambil terus menatap wajah ayu Vara.

Vara tertawa mendengarnya. " Itu mah sudah biasa, Kak." katanya.
" Tapi aku selalu menganggapnya kalau itu angin lewat," lanjutnya.

" Owhh... gitu yah." balasku sambil tersenyum. Mencoba menutupi perih dihatiku yang datang begitu saja.
Iri. Sudah pasti aku iri dengan Vara. Dia memiliki tekad yang begitu kuat untuk menjaga auratnya. Seandainya sejak kecil aku memakai jilbab, pasti sekarang aku sudah berpenampilan sama dengan Vara.

" Kak Laras pakai jilbab?" tanya Vara.

"Enggak," jawabku malu.

"Loh kenapa, Kak? Kakak kan sudah baligh." Vara sedikit terkejut dengan jawabanku.

"Masih belum siap aja sih," kataku kikuk.

"Pakai jilbab jangan menunggu siap enggaknya, Kak. Kalau kayak gitu mah gak akan pakai jilbab nanti. Lebih baik perbaiki diri mulai dari sekarang." Vara mulai menasihatiku.

"Tapi kalau aku pakai jilbab aku gak akan bebas lagi berolahraga, bermain dan yang lainnya." keluhku.

" Kak. Jilbab itu bukan suatu penghalang untuk kita melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Dengan jilbabpun kita tetap bisa sukses dan melakukan aktifitas. Bahkan para atlit wanita sekarang banyak yang pakai jilbab. Polwan dan dokter banyak yang pakai jilbab. Itu sebagai bukti bahwa jilbab bukan penghalang," jelasnya.

" Coba aja pakai,Kak. Asik kok." lanjutnya.

"Iya. Nanti aku coba," kataku sambil tersenyum kikuk.

Sekitar 30 menit aku bertukar cerita dengan Vara. Mulai dari pengalamannya selama memakai jilbab, cacian yang ia dapatkan karena kebutaannya. Bahkan kehidupan harmonis keluarganya pun ia ceritakan. Dan tak lupa dengan segala sifat yang dimiliki Fahmipun ia ceritakan hingga tuntas.

" Kamu disini,Ras?" suara Fahmi mengagetkanku.

"Iya" jawabku sambil menggaruk tengkukku yang tak gatal.

" Tadi aku banyak cerita sama Kak Laras, Bang. Orangnya asik," kata Vara semangat.

" Vara. Jangan melebih-lebihkan," kataku sambil tersenyum kikuk. Sedangkan Vara hanya tertawa.

" Aku pulang dulu yah. Sudah sore. Sampai bertemu dilain waktu, Vara. Fahmi aku pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamitku.

"Iya hati-hati," kata Fahmi.

"Wa'alaikumsalam." balas Vara dan Fahmi serempak.

Senyumku mengembang perlahan ketika aku sudah memunggungi Vara dan Fahmi. Mendengar semua tentang Fahmi dari Vara membuatku kembali semangat untuk mengejarnya.

'Fahmi ... Aku pasti bisa meluluhkan hatimu' tekadku dalam hati.

****

Semangat Laras.....:-)

Happy reading..
Jangan lupa vote dan komen yahh...

Mahkota Hijrah Menjemput Halal[COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang