Part 19

286 28 0
                                    

"Yang aku takutkan adalah ketika aku telah nyaman dengan pertemuan, takdir datang dengan membawa perpisahan"

*****

Akhirnya 4 hari penuh tantangan selesai sudah. Perjuangan selama 3 tahun di bangku SMA telah usai. 
Kupandang semua wajah sedih campur haru yang terpancar dari wajah sahabatku dan teman-temanku saat keluar dari ruangan.

Bening haru campur sendih menetes membasahi pipi. Tidak ingin ada perpisahan dengan orang-orang tersayang.

Apalagi perpisahan dengan kedua sahabatku yang selalu menemani hari-hariku membuatku tak bisa menahan tangis.

Sinta dan Tasya melanjutkan studi di Luar Negeri. Sinta di Amerika dan Tasya di Negeri Sakura.

Kedua negara yang sangat jauh dalam jangkauanku.
Demi mengejar cita-cita, mereka rela merantau.
Terbesit cemburu dalam hati. Karena aku tidak bisa seperti mereka.
Namun, kucoba buang jauh-jauh rasa iri yang terus mencoba menggerogoti hatiku yang akan membuatku kembali seperti dulu lagi.

"Laras...." peluk haru dari Sinta dan Tasya sambil meneteskan air mata.

Kami menangis seperti anak kecil yang permennya dirampas begitu saja oleh orang lain.
Begitu tak disangka, persahabatan kurang lebih 6 tahun harus terpisahkan oleh jarak.

Selama 6 tahun kami bersama. Suka duka selalu bersama. Saling mendukung ketika ada masalah yang datang dan saling menghapus air mata ketika ada yang menangis. Namun, kini harus terpisah oleh jarak.

"Jaga diri kalian baik-baik." kataku dengan air mata yang terus menetes.

"Kamu juga, Ras. Jaga kesehatan. Baik-baik disini," kata Sinta sesenggukan.

" Laras, harus selalu sehat. Kasih kabar terus sama kita," Tasya menambahi disela-sela isaknya.

"Insya Allah. Kalian jangan pernah berubah," kataku lagi dengan isak yang semakin kencang.

"Iya. Pasti kita gak akan berubah. Kita akan tetap menjadi Tasya dan Sinta yang dulu sampai sekarang dan selamanya akan tetap begitu." ucap Tasya dengan tetesan air mata.

Aku melerai pelukan, berusaha untuk tabah dan ikhlas melepas mereka nantinya.

"Kita sudah jarang ke rumah pohon. Aku juga sudah gak pernah pegang panah lagi. Nanti sore habis shalat asar kita kesana yah." ajakku pada mereka.

"Iya, Ras. " Kata Sinta dan Tasya serempak.

Kupertajam penglihatanku. Keperhatikan sekelilingku. Mengapa aku tidak melihatnya?
Mengapa sepasang netraku tidak menangkap keberadaan Fahmi?

"Kalian lihat Fahmi?" tanyaku pada Sinta dan Tasya.

" Aku gak lihat sih, Ras," jawab Sinta.

"Tadi setelah selesai ujian, Fahmi pergi sama Pak Herman, tapi aku gak tau pasti sih mereka kemana." jelas Tasya.

"Mungkin mereka membicarakan persoalan pertemuan itu," kata Sinta mencoba menenangkanku yang sudah mulai gusar.

" Semoga aja begitu," kataku mencoba menepis fikiran burukku.

" Kantin yok. Lapar nih." Tasya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Iya aku juga lapar. Ayok, Ras. Kantin."  Sinta langsung menggandeng erat tanganku.

"Kalian tenang aja. Aku habis dapat rezeki. Jadi kalian berdua aku yang traktir." heboh Tasya.

"Beneran?" Sinta mulai histeris.

"Iyalah. Masa seorang Tasya bohong sih." jawabnya dengan bangga.

" Kalau gitu,Cuss!  Kita berangkat!" kata Sinta bersemangat.

"Cusss!" aku dan Tasya serempak.

Terasa hangat ketika aku bisa berbagi kebahagiaan bersama mereka.
Tak bisa kubayangkan hari-hariku tanpa mereka.
Pasti aku akan sangat kesepian.

Rumah pohon pasti nantinya seperti rumah hantu yang tak berpenghuni.

Walaupun rumah pohon letaknya tak jauh dari keramaian, tapi ia akan tetap sepi ketika tidak ada Tasya dan Sinta.

Akupun tak tau apakah bisa sekedar menengok rumah pohon tersebut atau tidak.

Sedih sekali ketika mengingat perpisahan. Padahal perpisahan di sekolah masih sekitar 1 bulan lagi. Tasya dan Sinta pergi keluar negeri pun masih sekitar 3 bulan lagi.
Namun, entah mengapa kata perpisahan itu terus saja menghantuiku. Membuat hatiku tak tenang.
Membuat air mata terus membasahi pipiku ketika aku mengingatnya.

Untung saja aku tak perlu berpisah dengan Fahmi. Aku masih akan terus melihatnya.
Setiap hari melihatnya membuatku sedikit tenang. Walaupun tanpa Sinta dan Tasya yang selalu menghiburku.

Kutatap wajah cantik kedua sahabatku.
Begitu bangganya aku memiliki mereka berdua.
Senyum mereka adalah semangatku. Dan tangis mereka ada kelemahanku.

Peluk mereka tak jauh hangat dari pelukan seorang ibu.
Dengan mereka aku bisa meluapkan segala kegundahan.

Terlebih mereka adalah orang yang menemani hijrahku.
Menemaniku disaat semua orang menganggapku munafik.

Mereka rela dijauhi teman-temannya demi ikut hijrah bersamaku.

Dan kini aku tau. Allah mengirimkan mereka untuk melengkapi setiap kekuranganku.
Untuk menghapus setiap air mataku.

Dan kini aku sadar. Allah sengaja menjauhkan mereka dariku untuk sekedar mengetesku. Apakah aku mampu menjalani tantangan selanjutnya tanpa mereka.
Menghadapi setiap suka dan duka tanpa mereka.
Menghadapi setiap cibiran tanpa mereka.

Aku pun sadar. Mereka adalah sahabat yang akan menemaniku didunia dan akhirat.
Yang akan menolongku ketika aku tersesat.

Semoga saja mereka tidak akan berubah walaupun nanti sepasang netra hanya mampu melihat mereka lewat benda pipih.

Tasya dan Sinta kalian adalah sahabat sejatiku.

****

Jadi sedih kalau dengar perpisahan..:-(
Akupun sebenarnya paling benci dengan kata perpisahan.
Tapi begitu lah hidup.. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan..

Happy reading

Mahkota Hijrah Menjemput Halal[COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang