Part 26

302 23 0
                                    

"Apakah kehilangan itu benar adanya?
Mengapa kehilangan terus mengelilingiku?
Apakah tidak ada kata lain selain kehilangan? "

*****

1 bulan setelah pertemuan dengan Fahmi di pantai dan mendebatkan sesuatu yang melibatkan perasaan, membuatku sedikit patah semangat.

Sejak itu Fahmi tidak lagi menghubungiku.
Pesan yang selalu aku kirim hanya bercentrang satu sebagai tanda bahwa ia tidak lagi aktif di whatsap.

" Laras!" teriakan cempreng itu mengagetkanku.

" Kenapa, Sya." jawabku ringan.

" Cafe yuk. Sinta sudah nunggu di cafe biasa." kata Tasya.

"Jadi kamu kesini jemput aku gitu?" tanyaku.

" Ya iyalah. Ya kali aku kesini jemput mama kamu!" jawab Tasya dengan memanyunkan bibirnya.

Aku terkekeh melihat tingkah Tasya yang semakin hari semakin menyebalkan namun menggemaskan.
" Tunggu sebentar,yah. Aku siap-siap dulu."

" Oke "

Setelah beberapa menit, akhirnya aku siap juga dengan gamis berwarna navi dan jilbab berwarna abu-abu. Perpaduan yang sangat cocok.

" Woww... cantik...." puji Tasya sambil memperhatikan penampilanku.

" Dari dulu yah," jawabku pede sambil mengibaskaan tanganku diudara.

" Andalan! Yaudah yuk... Otw!" Tasya mulai heboh.

" Ma aku dan Tasya pergi ke cafe sebentar yah. Assalamu'alaikum." pamitku sambil mencium punggung tangan mama. Tasya pun mengikutiku.

" Hati-hati. Wa'alaikumsalam " jawab mama sambil tersenyum.

Sepanjang jalan Tasya bercerita panjang lebar. Mulai dari pendaftarannya di Negara sakura hingga ia menemukan kekasih barupun ia ceritakan dengan detail.

Aku hanya tersenyum dan sesekali menanggapi ceritanya.

Hanya membutuhkan beberapa menit, akhirnya aku dan Tasya sampai di cafe.

" Assalamu'alaikum! " sapaku dan Tasya serempak ketika melihat Sinta yang sudah duduk menunggu kami.

" Wa'alaikumsalam." jawab Sinta.
" Sumpah yah! Kalian itu lama banget!" lanjutnya ngomel.

" Ini nih Laras. Ganti bajunya lama banget,"  kata Tasya menyalahkanku dengan menggerutukan bibirnya.

Aku hanya terkekeh. " Maaf...." kataku cengengesan.

" Yaudah deh. Cepat pesan makan. Aku sudah lapar banget," keluh Sinta.

" Siappp!" jawabku dan Tasya semangat.

Sejenak suasana menjadi hening karena kami begitu menikmati makan masing-masing.

" Jadi kalian kapan berangkat?" tanyaku saat nasi gorengku habis.

" Insya Allah minggu depan,Ras." kata Sinta.

" Kamu, Sya?" tanyaku pada Tasya.

" Aku juga minggu depan,Ras. Bareng Sinta." jawabnya.

" Aku sendiri lagi dong. Kesepian gak ada kalian," kataku dengan mata berkaca-kaca.

" Jangan gitu lah, Ras. Kita kan masih bisa VC bisa juga telfon-telfonan." kata Sinta mencoba menenangkan.

" Iya, Ras. Kalau kamu mau curhat, kita pasti selalu ada waktu buat kamu," tambah Tasya.

" Lagian kan nanti kamu kuliah gak sendiri. Ada Fahmi yang nemenin," kata Sinta mencoba menghibur. Tapi salah, bukannya dia menghibur melainkan mengorek luka lamaku.

Aku memang belum menceritakan yang terjadi 1 bulan yang lalu. Bukannya mau menutupi, hanya saja aku masih tidak sanggup jika harus mengorek luka lamaku.

Namun, kali ini akan kucoba ceritakan pada mereka.

" Fahmi gak jadi masuk situ. Dia mondok," ucapku sambil memainkan sendok ice crim yang ada dihadapanku.

" Loh, kenapa?" tanya Tasya terkejut.

Aku ceritakan semuanya secara detail kepada mereka yang sangat aku percaya.
Kucoba tahan sekuat mungkin air mataku yang terus saja berusaha untuk membongkar pertahananku.

" Sabar,Ras. Aku yakin kalau dia yang terbaik buat kamu, pasti dia bakal kembali." Sinta mencoba menenangkanku dengan mengelus tanganku.

" Aku juga berharapnya begitu, Sin," jawabku lesu.

" Owhhh ... Iya aku baru ingat... Aku lalu ketemu Vara dibandara bersama perempuan kayaknya sih itu bundanya. Waktu aku sapa dia dan tanya kenapa dia ada disini, dia cuman jawab katanya antar Fahmi. Aku sih belum sempat tanya-tanya Fahmi kemana. Karena lalu aku terburu-buru jadi langsung pergi deh," kata Tasya sedikit terkekeh.

Air mata yang kucoba tahan akhirnya lolos juga.
" Jadi Fahmi sudah berangkat dan gak ngabarin aku sama sekali?" kataku disela-sela isak.

" Sepertinya begitu, Ras," jawab Tasya.

" Tenang, Ras. Minta yang terbaik. Kalau jodoh pasti bakal ketemu lagi. Jangan down gini lah,Ras." kata Sinta yang masih berusaha menengkanku.

" Aku masih terlalu takut kehilangannya,Sin... Aku takut...." kataku dengan air mata yang terus mengalir.

" Aku tau, Ras. Tapi mau bagaimana lagi, itu sudah keputusan Fahmi." kata Sinta sambil memelukku.

" Coba tegar, Ras. Tetap do'akn dia supaya dia yang ditetapkan buat kamu nantinya" Tasyapun mencoba menenangkan.

Aku hanya menangis.
Fahmi benar-benar memutuskan segalanya. Hingga ia pergipun tak ada kabar satupun darinya.
Begitukah caranya untuk menjauhiku?

***

Fikiranku terus tertuju kepada Fahmi.
Walaupun aku sudah berusaha keras untuk menghapusnya.

2 bulan aku menunggu kabar dari Fahmi. Setiap hari aku selalu mengirim pesan, tapi tak ada satupun yang dibalasnya.

Kuhembuskan nafas dengan kasar. Berusaha kuat menepiskan bayangan Fahmi dari ingatan. Walapun aku tau semuanya akan sia-sia.

" Kamu serius mau naik motor kekota,Ras? Itu lebih bahaya. Lebih baik kamu naik mobil aja," pesan mama saat aku mulai memasukkan pakaianku kedalam koper mini.
Aku hanya membawa beberapa lembar baju. Karena bulan depan mama akan mengirimku makanan, jadi sisa bajuku akan dikirim bersama makanan itu.

" Iya, Ma. Lagian kan gak naik gunung juga. Jadi Laras gak terlalu khawatir." kataku mencoba menenangkan mama yang mulai gusar.

" Aku juga kan gak sendiri, ma. Ada paman jono yang kesana juga antar anaknya. Jadi mama gak perlu khawatir," kataku sambil mengelus punggung tangan mama.

Paman jono adalah tetangga sebelah rumah. Ia cerai dengan istrinya sekitar 1 tahun yang lalu. Dan anak terakhirnya ingin bertemu dengan ibunya dan tinggal disana beberapa minggu. Jadi Paman Jono yang mengantarnya sekalian menjagaku selama diperjalanan.

Sekitar pukul tujuh pagi, aku sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kampung halamanku. Untuk mencari bintangku diperantauan. Jauh dari orantua.

Kupeluk erat mama yang begitu berat melepasku. Air mata yang terus mengalir dari matanya yang tenang membuatku tak sanggup menahan air mataku.

" Jaga diri kamu baik-baik, Ras. Langsung hubungi mama kalau sudah sampai atau ada gangguan dijalan," pesan mama dengan air mata yang masih terus membanjiri.

"Iya,ma. Mama jaga kesehatan. Laras pamit. Assalamu'alaikum." jawabku sambil mencium tangan mama dengan takzim lalu memeluknya dan tak lupa mencium pipinya.

" Wa'alaikumsalam" jawab mama sambil mengusap air matanya yang sudah membasahi pipinya.

Kulajukan sepeda motorku keluar dari pekarangan rumah. Kulihat dari spion mama masih berdiri didepan pintu melihat terus kearahku.

Air mata itupun menetes lagi. Aku meninggalkan orang tersayangku.

"Jaga diri baik-baik, ma," kataku lirih

***

Yang merantau pasti tau bagaimana rasanya meninggalkan orangtua...
Jadi sedih...:-(

Happy reading guys..:-)

Mahkota Hijrah Menjemput Halal[COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang