Part 27

296 28 0
                                    

"Kehancuranmu adalah kehancuranku. Dan tetesan air matamu membuatku hancur"

*****

Fahmi

...

Flashback On

Dreeet!  Dreeet!

Getar panggilan mengagetkanku. Terpaksa aku membuka mataku kembali.
Panggilan dari nomor yang tidak dikenal.

" Assalamu'alaikum. Fahmi ini aku, Sinta."  kata Sinta dengan nafas yang memburu

" Kenapa, Sin?" tanyaku mulai khawatir.

" Laras. Mana dia? Pak Manaf, bapaknya meninggal barusan!" katanya dengan terisak.

Aku terkejut bukan main. Jantungku berdetak tak berarturan." Innalillahi wainna ilaihiroji'un... kita akan langsung pulang sekarang juga, Sin!" gurat kekhawatiran muncul begitu saja. Bagaimana jika Laras tau tentang hal ini?
Tanpa salam, telfon langsung kumatikan.

" Pak. Bapaknya Laras meninggal. Kita harus pulang sekarang juga" kataku pada Pak Herman dengan kecemasan. Pak Herman terkejut bukan main, seperti yang aku alami.

" Innalillahi... jangan beritahu Laras dulu, lebih baik kita diam. Jangan sampai dia syok disini. Bapak akan cari alasan nanti," kata Pak Herman dengan khawatir.
" Segera siap-siap! Kita pulang sekarang! " lanjutnya lagi.

Memoriku kembali pada beberapa minggu yang lalu. Dimana seorang wanita yang aku anggap kuat, bahkan menangis pun jarang, saat itu terlihat begitu rapuh. Air mata yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Bahkan kakinya tidak bisa lagi memopah tubuhnya. Dia limbung dan jatuh tepat dihadapanku.

Laras. Aku melihat gadis itu begitu hancur karena ditinggalkan oleh pria yang begitu dicintainya. Pria yang dengan kerja kerasnya hingga dia bisa tumbuh dewasa dan memiliki akhlak mulia.

Seberapa besarpun usahaku untuk kuat, tapi ternyata aku tetap lemah. Melihat dia hancur, membuatku juga hancur.

Dia masih begitu rapuh karena ditinggalkan oleh ayahnya. Lalu bagaimana jika nanti aku juga meninggalkannya?
Apa dia masih bisa tertawa seperti sebelumnya?

Memoriku berputar, kembali ke beberapa waktu silam.

Dreeet!  Dreeet!

"Assalamu'alaikum. Siapa?" tanyaku pada orang diseberang dengan nomor yang tidak kuketahui.

" Wa'alaikumsalam. Ini Fahmi kan?" tanyanya pria diseberang sana.

" Iya." jawabku ragu.

" Masyaallah...  akhirnya... Ini ustadz Salim. Pengurus pondok pesantrenmu dulu," katanya dengan penuh semangat.

" Masyaallah, Ustadz. Apa kabar?" tanyaku kemudian dengan senyum sumringah.
Ustadz Salim adalah orang yang sangat kusegani dan berharga bagiku. Bagaimana tidak?  Sejak aku ditinggalkan oleh Abi, Ustadz Salim lah yang mengurusku, membawaku ke pondok pesantren miliknya. Membimbingku hingga aku bisa faham akan ilmu agama.

" Alhamdulillah baik. Fahmi sudah luluskan? Berarti jadi mondok lagi. Ustadz sudah menunggu,Nak. Cepatlah datang" kata ustadz tanpa basa basi.

" Jangan lupakan janjimu dulu." katanya lagi.

" In Syaa Allah, ustadz. Fahmi akan segera kesana." jawabku ragu.

" Ustadz tunggu. Assalamu'alaikum."
Telfon tertutup sepihak dari seberang.

" Wa'alaikumsalam." jawabku lemas.

Flashback off

Aku mencoba untuk kuat, mencoba untuk tidak meneteskan air mata walaupun hanya setetes. Namun, aku kalah telak, justru cairan bening itu turun tanpa bisa kucegah.
Segera kuhapus butiran bening itu. Tak ingin teranggap lemah. Cukup Allah yang tau bahwa aku adalah lelaki lemah dan pecundang.

"Sudah bilang ke Laras?" suara wanita paruh baya menyadarkanku dalam lamunan.

"Umi.... " aku menoleh, menatap Umi dengan tatapan sendu.

"Jadi, kamu sudah mengambil keputusan?" tanya Umi lagi. Umi tau akan kebimbanganku.

"Insya Allah, Mi." jawabku dengan mata berkaca-kaca.

"Jadi kamu mana?" tanya Umi lagi.

"Fahmi ke pondok, Mi." jawabku ragu.

"Kamu yakin?" Umi mengelus lenganku lembut.

"Insya Allah." aku mencoba tersenyum didepan umi. Tak ingin membuat Umi khawatir.

"Sudah bilang ke Laras?" Umi menatapku sendu.

"Sudah, Mi. Tapi.... " aku menghentikan ucapanku. Air mata kembali menetes.
"Laras menangis,  Mi. Fahmi sudah membuat dia menangis lagi. " pecah sudah tangisku dalam dekapan Umi. Biar bagaimanapun, aku memiliki hati, dan hatiku telah aku labuhkan untuk Laras. Melihatnya hancur, membuatku juga hancur.
Karena perasaanku tak pernah main-main.

"Lebih baik kamu disini saja. Sama Umi dan Vara.
Laras juga pasti akan sangat bahagia kalau kamu bisa kuliah di Universitas yang sama." Umi terus menasihatiku.

"Enggak, Mi. Fahmi sudah terlanjur berjanji dan Fahmi gak mau membantalkan janji itu," jawabku masih dalam dekapan Umi.

"Laras sudah terlanjur mencintai kamu. Umi gak pernah ngajarin kamu untuk menyakiti wanita, Fahmi. Setidaknya kalau kamu tetap disini, kamu bisa menyembuhkan lukanya Laras," kata Umi sambil membelai rambutku halus.

"Bukankah Umi sangat melarang Fahmi untuk menghianati janji? Lalu bagaimana kalau Fahmi tetap disini dan Fahmi akan terus dihantui janji Fahmi?" tanyaku sambil menatap mata Umi.

Umi menghembuskan nafasnya kasar.
"Baiklah, Nak. Apapun keputusan kamu, Umi dukung. Pesan umi, jangan pernah kamu menyakiti wanita. Jadilah lelaki yang bertanggungjawab, yang akan terluka jika melihat gadis yang dicintainya juga terluka. Jangan seperti lelaki pecundang, yang pergi tanpa memberi kejelasan." Umi masih terus menasihatiku.

"Insya Allah, Mi." jawabku lalu mendekap Umi lagi. Mengeluarkan segala kegundahan hati dalam dekapan Umi yang sangat menenangkan bagiku.

Laras. Wanita yang begitu mudah mencuri hatiku. Wanita yang sanggup membuat jantungku berdetak dua kali lipat lebih cepat.
Satu-satunya wanita yang namanya selalu aku panjatkan agar bisa bersanding dalam halalnya kebersamaan kelak.

Aku akan pergi untuk memenuhi janjiku dan aku akan datang kembali untuk menunaikan janjiku.
Aku yakin, jika memang kamu yang Allah kirimkan untuk menyempurnakan agamaku, kelak pasti Allah juga yang akan menyatukan kita.

Aku tak akan memintamu untuk menungguku. Karena aku tau, menunggu bukanlah persoalan yang mudah, dan aku tidak ingin bermain-main dengan kata menunggu.
Cukup kita saling mendo'akan agar kelak kita bisa bersama.

***

Fahmi.. Seandainya ada lelaki kayak Fahmi disekitarku pasti sudah aku kejar...:-P
Dia menyakiti namun ia juga menangis..
Hanya lelaki yang mencintai wanita dengan setulus hati yang mampu menangis ketika meninggalkan wanitanya walaupun bukan keinginannya..

Jangan lupa tinggalin vote dan komen..:-)
Happy reading..:-)

Mahkota Hijrah Menjemput Halal[COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang