Hari ini merupakan hari terakhir Arvi dan Jennie berada di negara Belanda. Sebelum pulang besok pagi, mereka berdua ingin menyempatkan waktu sebentar untuk singgah ke beberapa toko souvenirs yang menjual pakaian, topi, aksesoris, makanan dan lain sebagainya.
Kini Jennie berdiri sembari memperhatikan deretan kamera digital. Sebenarnya ia cukup ahli dalam dunia Photography. Saat kuliah dulu, Jennie memang sering mengabadikan sesuatu menggunakan kameranya. Tetapi sejak pindah ke rumah Arvi, Jennie tidak pernah memegang benda itu lagi. Tidak ada alasan khusus mengapa Jennie menjadi seperti itu. Menurut Jennie, apa yang ia alami setelah menikah tak perlu diabadikan melalui kamera, sebab apa? Sebab Jennie mampu mengingat setiap detik kejadian yang menimpanya tanpa ada satupun yang terlupakan.
"Sir, I want to buy this one." Ucap Arvi sembari mengambil kamera yang dari tadi Jennie perhatikan.
"No sir, no. —— Apa yang kau katakan Arvi? Kamera ini mahal sekali. Untuk apa kau membelinya?"
"Untukmu. Aku tahu kau menyukainya. Nanti jangan lupa ambil gambarku menggunakan kamera ini ya?"
"Tapi—"
"Aku ambil yang ini. Tolong bungkuskan."
"Baik tuan. Tunggu sebentar."
Jennie hanya bisa berdiri disamping Arvi dengan memasang tampang pasrah. Arvi memang keras kepala. Sebenarnya Jennie tidak terlalu menginginkan kamera itu. Tapi apa boleh buat, jika Arvi bersikeras ingin membelikannya, ya sudah.
"Terimakasih. —— Ini, Jennie." Ucap Arvi seraya memberikan kamera tersebut.
"Nanti uangnya aku ganti, ya." Ujar Jennie.
"Ganti? Untuk apa? Aku yang ingin membelikannya untukmu. Tak usah diganti. Seperti pada siapa saja. I am your husband, not a stranger. Lagipula, uangku uangmu juga bukan?"
Jennie tersenyum sambil mengangguk kecil. Arvi pun meraih tangan istrinya sembari mengucapkan, "Katakan, apa yang ingin kau beli?"
"Hmm, sepertinya tidak ada lagi."
"Bagaimana mungkin tidak ada lagi? Ayo kita cari sesuatu untuk kau pakai."
"Arvi—"
"Biarkan aku memperlakukanmu dengan seharusnya, Jennie. Just accept it."
Setelah berucap demikian, Arvi pun langsung membelikan Jennie beberapa pasang anting, tiga pasang kalung, empat pasang jam tangan dan kini mereka sedang memilih beberapa sepatu sneakers dan high heels keluaran terbaru.
"Coba yang bewarna putih ini." Ucap Arvi sembari berlutut mengenakkannya di kaki Jennie.
"Tidak muat, Arvi. Sempit."
"Hmmm... Kalau begitu coba yang lain saja."
"Tapi aku suka yang ini."
"Miss, can you find a shoe size larger than this? This one doesn't fit my wife's foot size." Jelas Arvi pada seorang pramuniaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU KILLING ME SOFTLY ✓
Fanfiction[18+] When you have two loves, but you can only repay one of them. Orang bilang, cinta itu buta. Yang waras bisa menjadi gila, sementara yang pintar bisa menjadi bodoh. Tapi pernahkah kau berpikir bahwa cinta itu sama seperti obat? Kau bisa sembuh...