Part. 14

2.1K 197 6
                                    


"Jangan berani Ibu membukakan pintu untuk Hyera, jika anak itu pulang ke sini!"

Meskipun Hyera mencoba menahannya, tetapi tetap saja ia tidak bisa mencegah air matanya untuk keluar, saat mendengar potongan kalimat yang tidak sengaja ia dengar dari mulut ayahnya sendiri.

"Tapi Hyera putri kita, Yah!" balas sang Ibu tak setuju. Beberapa saat yang lalu Jimin memang sempat menelfon orang tua Hyera, mengatakan jika ia tidak butuh wanita murahan seperti putri mereka untuk menjadi menantu dari Keluarga Park.

"Persetan dengan hubungan darah, Hyera hanya akan menyusahkan saja jika ia kembali ke rumah kita! Sudah untung Ayah mencarikannya pria yang kaya, tapi dengan bodohnya ia justru berselingkuh dari suaminya dan membuat kita malu!"

Sang ibu menggeleng ribut mendengar ucapan ayah Hyera. Biar bagaimanapun Hyera adalah putrinya, ia tentu tak tega jika harus menuruti perkataan sang suami dan melupakan Hyera begitu saja.

"Tapi, Yah--"

"Tidak ada tapi-tapian lagi, anggap saja anakmu itu sudah mati!" ucapnya tanpa dosa. Membuat Hyera, yang sampai saat ini masih setia berada di balik pintu rumah orang tuanya meledakkan tangisnya. 

Hancur sudah pertahanan Hyera. Wanita itu membungkam mulutnya sendiri guna menahan isakannya, lalu melangkah pergi menjauh dari rumah kedua orang tuanya.

Lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya, hati Hyera hancur karena ulah dari orang yang dicintainya. Sungguh, dari awal Hyera memang tidak berniat untuk kembali, apa lagi sampai menyusahkan kedua orang tuanya lagi. Hyera hanya ingin berpamitan pada ayah dan ibunya, meminta restu dari mereka, sebelum ia pergi dan memulai lembaran baru dengan calon bayinya.

Namun, sepertinya Hyera menyesali keputusannya sekarang. Bukannya restu, justru rasa sakit hatilah yang kembali ia dapatkan. Membuatnya berpikir, apakah ia memang setidak berharga itu? Apakah ia memang tidak pantas mendapatkan cinta? Sekali pun itu dari orang tuanya sendiri?

"T-tidak ada gunanya kau menangis, Hye. Kau tidak butuh mereka. Biarkan saja, hiks, biarkan saja mereka semua melupakanmu, kau tidak harus peduli tentang itu. Mulai sekarang, hidupmu hanya untuk calon anakmu saja, mengerti?" gumamnya, mencoba untuk menguatkan dirinya sendiri.

Wanita itu menghapus kasar air matanya. Ia sadar, menangis tidak akan menyelesaikan apa pun. Hyera tidak boleh lemah, jika bukan untuk dirinya, setidaknya ia harus kuat demi menjaga calon buah hatinya. 

"Jalan, Pak," ujarnya, pada seorang sopir taksi yang saat ini ia tumpangi. 

"Ke mana, Nyonya?" tanya sang sopir.

"Bandara," jawabnya. Supir itu mengangguk, kemudian mulai melajukan taksinya.

Hyera sendiri mulai memejamkan kedua matanya, berdoa dalam hati, dan berharap jika kali ini ia tidak akan salah langkah lagi. Rasanya sudah cukup Hyera menerima semua ketidakadilan ini, sudah cukup ia berharap pada orang lain dan berakhir dengan menyakiti dirinya sendiri.

Jika pergi adalah jalan satu-satunya agar ia bisa tenang dalam menjalani hidupnya. Maka ... baiklah. Hyera akan pergi, pergi sejauh mungkin, dan mengubur dalam-dalam semua mimpi dan masa lalunya ini.

*****
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam hari. Namun, hingga saat ini kedua matanya masih saja terjaga. Pria itu tidur dengan memunggungi sang istri, terkesan tidak peduli dengan istrinya yang kini tengah memeluk erat tubuh kekarnya.

"Aku merindukanmu, Jim. Sudah lama kita tidak tidur bersama sejak kehadiran Hyera dalam hidup kita, kan?" ujar Soojung. Yang sama sekali tidak direspon oleh suaminya.

Raganya memang ada di samping Soojung, tetapi jiwanya seakan menghilang entah kemana. Pikirannya kacau, hatinya tidak pernah tenang sesaat setelah Hyera memutuskan untuk pergi dari rumahnya.

"Tapi, tak apa. Sekarang wanita itu sudah pergi. Yang berarti jika kau sepenuhnya menjadi milikku lagi," ucapnya, semakin mengeratkan pelukannya pada Jimin.

Sedangkan Jimin? Lagi-lagi ia tak peduli, hati dan pikirannya masih sibuk diisi oleh Hyera. Perasaan khawatir seketika hinggap di hatinya, memikirkan ke mana Hyera akan pergi larut malam begini. Jujur saja, Jimin sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya. Pria itu tak tahu, kenapa ia bisa secemas ini pada Hyera. Ia bingung, kenapa hatinya seakan tidak bisa menerima apa yang dipikirkan oleh akal sehatnya.

"Kau mendengarkanku kan, Jim?" Soojung kembali berucap, berharap jika sang suami akan membalas perkataannya, atau setidaknya menganggukan kepalanya.

Namun, tidak. Jimin tetap terdiam, mulai berpikir jika seharusnya ia senang, bukan? Seharusnya ia bahagia, dan merayakan kepergian Hyera yang dari awal memang tidak pernah diinginkannya. Namun, kenapa yang terjadi malah sebaliknya? Kenapa Jimin tidak bahagia, dan justru malah merasa jika hati kecilnya seakan tidak terima dengan kenyataan yang ada?

"Setidaknya berbaliklah dan tatap wajahku, Jim. Sungguh, apa kau benar-benar tidak merindukanku, hm?" Kali ini Soojung berbicara sembari mencoba membalikkan tubuh Jimin. Membuat Jimin justru melepaskan tangan Soojung dari pinggangnya.

"Kau tidurlah, aku akan menyusul setelah menyelesaikan berkas untuk meeting besok pagi," jawab Jimin, yang tentu hanya sebagai alibinya saja untuk bisa lepas dari Soojung. "Tapi, Jim. Aku ...."

Jimin melangkah pergi dari kamarnya tanpa mau mendengarkan perkataan Soojung, membuat Soojung berdecih tak suka karnanya.

Bahkan saat sudah pergi pun, Hyera masih saja mengganggu hidupnya? Itulah pikirnya.

*****
6. 10 KST.

Sudah sejak beberapa jam yang lalu Hyera sampai di tempat tujuannya, ia juga sempat beristirahat di sebuah kedai untuk sekedar membeli sebotol air mineral saja.

Sekarang ini wanita itu sendiri tengah sibuk berjalan entah ke mana, dengan membawa sebuah koper di tangannya. Beberapa kali Hyera terlihat memijit pelan pelipisnya, mencoba menghilangkan rasa pusing yang entah kenapa tiba-tiba saja menyerangnya.

"Ssh, Kenapa rasanya pusing sekali?" gumam Hyera. Sungguh, ia tidak kenal siapa pun di kota barunya ini, tidak lucu sekali jika tiba-tiba saja ia pingsan, kan?

Hyera menggeleng cepat merutuki pikiran konyolnya. Ia tetap melangkah dan meneruskan perjalanannya, berharap rasa pusingnya bisa hilang, setidaknya setelah ia menemukan kontrakan yang bisa ia tinggali.

Namun, di luar keinginannya. Bukannya hilang, rasa pusingnya itu malah semakin menjadi. Membuat penglihatannya semakin buram, dan berakhir tak sadarkan diri.

"Yaa, gwaenchana, Nona?!" 

Samar-samar Hyera masih bisa mendengar suara seorang pria, yang kini tengah berusaha menyadarkannya. Setelahnya semuanya benar-benar menjadi gelap, Hyera tidak bisa mendengarkan apa pun lagi, dan bahkan deru napasnya sendiri.

Sedangkan pria itu terlihat kebingungan sendiri, tak tahu harus melakukan apa dengan wanita dipelukannya ini.

"Ck, menyusahkan saja!" decaknya sebal.

Namun, meskipun terkesan tidak peduli. Pada akhirnya pria berwajah dingin nan pucat itu mulai mengangkat tubuh Hyera, kemudian memasukkannya ke dalam mobil mewah miliknya.

Tbc ....

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Marriage Contract (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang