Part. 22

1.9K 167 2
                                    


'Jangan pernah menyakiti hati wanita, jika kau tidak ingin menyesal nantinya.'

Yah, setidaknya itulah yang ada di pikiran Jimin sekarang. Ia sudah memohon, menangis, dan bahkan melupakan harga dirinya sendiri demi mendapatkan maaf dari sang istri. Tapi, apa hasilnya? Nihil! Nyatanya sampai sekarang Hyera masih enggan untuk memaafkannya, apa lagi kembali padanya.

Menyerah? Tentu saja tidak. Jimin sudah berjalan sampai sejauh ini, akan sangat bodoh sekali jika pada akhirnya ia memilih umtuk menyerah di tengah jalan. Cukup sekali saja Jimin menjadi pengecut, ia tidak akan membiarkan istrinya mengatainya pengecut lagi untuk yang kedua kali.

"K-kapan HPL-nya? Apa sudah dekat?" tanya Jimin, pada sang istri yang sekarang ini tengah berada di sampingnya.

"Jika prediksi Dokter tidak meleset, mungkin aku akan melahirkan satu minggu lagi," jawab Hyera tanpa mengalihkan pandangannya. Wanita itu lebih memilih menatap lurus ke depan, seakan enggan untuk sekedar menatap wajah Jimin.

"Bukankah waktu cepat sekali berlalu?" ujar Jimin, yang lebih mirip seperti bisikan.

Seulas senyum terukir di bibir tebalnya, rasanya Jimin masih tidak percaya, jika sebentar lagi ia akan menjadi orang tua.

"Kau, mengatakan sesuatu?"

"A-ah, tidak," balas Jimin.

Keduanya sama-sama terdiam, sebelum akhirnya Jimin kembali berkata saat dirasa mobil yang ditumpanginya berhenti.

"Sebentar." Dengan cepat Jimin melepas seatbelt miliknya, keluar dari mobilnya, dan membukakan pintu mobil Hyera.

"Turunlah," ucap Jimin seraya mengulurkan tangan kanannya.

Sedangkan Hyera? Mau tak mau ia harus menerima uluran tangan suaminya. Karena jujur saja, di kehamilannya yang sudah memasuki trimester terakhir Hyera jadi mudah sekali lelah. Belum lagi kakinya yang bengkak, membuat Hyera lumayan kepayahan jika harus berjalan lama-lama.

"Anda tidak perlu menunggu, nanti akan saya hubungi lagi jika kami ingin pulang," kata Jimin, pada sang sopir bayaran yang ia sewa khusus untuk malam ini.

"Baik, Tuan," jawab sang sopir.

Jimin dan Hyera sendiri mulai beranjak dari tempatnya. Keduanya sama-sama masuk ke dalam Restaurant di hadapannya dengan saling bergandengan tangan.

Anggap saja ini sebuah keberuntungan bagi Jimin. Setelah sekian lama, pada akhirnya ia berhasil mengajak Hyera untuk sekedar makan malam dengannya. Yah, dengan segala bujuk rayunya dulu tentunya.

"Kau tidak mengatakan, jika hanya akan ada kita berdua di sini, Jim," ucap Hyera seraya mendudukan dirinya di kursi.

"Kau pasti akan menolak jika saja aku mengatakannya lebih dulu padamu."

Hyera hanya berdecak sebal mendengar jawaban sang suami. Lihatlah, bahkan untuk hal sekecil ini pun suaminya itu masih bisa membohonginya?

"Lupakan itu dan katakan. Apa kau suka dengan kejutannya?" Hyera hanya terdiam menanggapi pertanyaan Jimin.

Namun, kedua matanya sibuk memindai semua bagian dari Restaurant yang telah Jimin dekor seindah mungkin. Seperti pinggiran kolam Restaurant yang penuh dengan lilin, juga bunga-bunga mawar kesukaannya yang sudah tertata rapi hampir di setiap sudut ruangan tersebut.

"Kita ke sini hanya untuk makan malam kan, Jim?" ujar Hyera, sukses membuat senyuman di bibir Jimin luntur begitu saja.

Kenapa sulit sekali merayu istrinya ini?

"A-ah, tentu saja," balas Jimin.

Pria itu kembali tersenyum, kemudian mulai menikmati makanannya sendiri. Sesekali ia melirik Hyera, yang hanya menatap makanan di hadapannya.

Marriage Contract (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang