15. Kita

190 27 27
                                    

Doyoung ngga ngerasain punggungnya pegel gegara nyandar di pintu atau pantatnya yang sakit karena duduk kelamaan di lantai.

Hangat, batin si manis.

Maunya negakin badan, tapi kaya ditahan sama sesuatu. Pas ngebuka mata, yang dia liat ya kamarnya. Tapi pas ngedongak, yang dia liat itu Yuta. Tangan cowo itu ngelingkar di pinggang Doyoung, nyangga punggungnya supaya ga jatuh.

Muka mereka dekeeeeeeeet banget.

"Yuta..."

Ini kenapa Doyoung bisa dipangku sama Yuta deh? Perasaan tadi dia nyandar di pintu, mencak-mencak dan nyumpahin Yuta di dalem hati, habis itu ketiduran.

Iya, cowo itu yang ngeganti posisi Doyoung jadi nyandar di pintu. Matanya ketutup, napasnya teratur, dan kepalanya nunduk—otomatis Doyoung langsung liat muka damainya pas ngedongak.

Mata sayu Doyoung yang natap Yuta itu tetiba berkaca-kaca. Dia ngerasa bersalah udah ngelakuin itu sama Yuta, ngekhianatin Johnny, bikin dirinya sendiri malu.

Bibir si manis ngelengkung ke bawah, matanya nyipit dan air mata ngalir bebas gitu aja. Tangan mungilnya nangkup pipi Yuta, natap si dominan sambil nangis bisu.

"I'm sorry."

Doyoung narik kepala Yuta dan nyatuin kening mereka, mejamin mata dan ngerasain sesak yang makin menuhin dadanya.

Kenapa? Kenapa harus Yuta?

Satu tetesan air mata ngenain pipi si manis, buat dia seketika buka mata. Manik indah penuh bintang punya Yuta bertubrukan keras sama obsidian Doyoung yang bening.

Yutanya nangis.

"Yu—"

"It's okay, it's okay."

Satu ciuman lembut Yuta kasih untuk si manis, berharap kalo itu bisa nenangin Doyoung walau sementara. Tangan yang tadi ada di belakang, sekarang ada di rahang si manis dan memperdalam ciuman mereka.

"Don't blame yourself, my dear."

Isakan itu kedengeran makin keras pas ciuman mereka selesai, tepat setelah Yuta bilang gitu. Lehernya di peluk erat, pun disana kerasa basah akibat air mata si manis.

"Doyoung, lo ngga salah. Semua ini bukan kemauan lo, inipun bukan kemauan gue. Kita sama-sama lost control," jelas Yuta pelan sambil nepuk-nepuk punggung Doyoung.

"T-tapi g-gue udah b-bikin lo j-jatuh. Gue ngga mau lo c-cinta sama gue, t-tapi kenapa g-gue malah bikin lo s-semakin jatuh?"

Bestfriend, love, selfish.

"Semua orang berhak mencintai, Doyoung. Lo ngga bisa ngelarang gue, lo gabisa nampik apapun dari kenyataan kalo gue cinta sama lo."

"Tapi gue sadar, lo ngga akan bisa jadi milik gue. Gue udah bilang, kan? Gue cukup mencintai walau ngga memiliki," kata Yuta lagi.

Distance, benefits, betray.

Doyoung sesenggukan, geleng-geleng waktu Yuta bilang kalo semuanya akan baik-baik aja. Nyatanya, ngga ada yang baik-baik aja. Hubungan mereka, cinta, keegoisan, jarak, kepercayaan, semuanya hancur.

"Gue mohon, jangan nangis."

Yuta bener-bener natap Doyoung pake tatapan memohon, "Tolong, gue gamau lebih banyak air mata dari ini. Cukup lo nangis karena masa lalu, jangan bawa masa sekarang untuk jadi alasan kesedihan lo."

"Tapi gue udah ngelakuin hal yang salah!" seru si manis dan terisak lagi.

"Kita, Doyoung, kita. Bukan lo atau gue, tapi kita."

Yuta nyatuin kening mereka lagi, "Lo ngga akan nanggung semuanya sendiri, gue disini buat lo."

"Gue disini buat lo, selamanya."



[3] DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang