76. Spalsh

126 18 35
                                    

Doyoung ngelangkahin kakinya, santai dan ngga ada yang ngikutin. Dia sengaja cuma bawa diri, ngga bawa apa-apa lagi.

Karena dia mau ngelakuin sesuatu.

Cowo manis itu masukin tangannya ke saku celana, ngabaiin dingin yang sebenernya bikin dia mau mati. Bibir itu kian pucat setelah 1 jam lamanya jalan kaki dari rumah sakit ke tempat tujuannya.

Sungai Han, kemana lagi?

Doyoung perlahan-lahan nyusurin jalan yang dibatasin sama pagar itu. Dia senyum tipis pas similir angin nyapa, seolah setuju supaya dia buruan loncat dari jembatan ini.

"Kalo nyusul nenek kayanya ga mungkin, gue pasti masuk neraka," gumam Doyoung trus dia ketawa.

Akhirnya kakinya berhenti, cukup pegel dan bikin sakit. Tapi Doyoung gak peduli, dia cuma mau diem disini untuk beberapa waktu.

Atau mungkin, mengakhiri waktunya disini.

Kenangan-kenangan yang terjadi di hidup Doyoung tiba-tiba melintas gitu aja. Random. Ada yang sedih, ada yang bahagia, ada yang sakit, ada yang lega, ada yang selesai, ada yang terpendam, ada yang misterius.

Jembatan ini ngga dilewatin sama kendaraan, satu pun. Karena kepagian kali ya, orang-orang jam segini masih berkelana dalam mimpi indah mereka.

"Lo tau? Ketika lo berpikir bunuh diri adalah keputusan terbaik, itu bukanlah yang terbaik."

Doyoung ngomong ke dirinya sendiri, "Semua ini salah, Doyoung. Lo seharusnya bertahan, lo seharusnya kuat kaya yang selalu mereka bilang, lo seharusnya mampu ngelewatin ini semua."

Tangannya megang erat pagar pembatas yang ada di depannya, matanya netesin air lagi.

"Apa lo pikir, cuma lo yang punya nasib kaya gini? Ada orang yang bahkan punya takdir yang lebih buruk dari lo, apa mereka menyerah? Ngga. Mereka akan berusaha terus, berusaha membalas apa yang dunia kasih dan nunjukin kalo mereka sanggup."

Doyoung ketawa lirih, "Gue tau hidup gue terlalu melankolis, hanya aja gue semakin mati rasa."

"Gue ga sanggup lagi, Doyoung. Tolong, tolong bebasin gue dari perasaan yang nyesakin dada ini..."

Cowo manis itu mukul-mukul dadanya, "Kenapa ini terlalu sakit untuk gue...apa yang gue lakuin di masa lalu sampe takdir gue sebegini beratnya sekarang, Tuhan?"

"Gue gak pernah minta lahir, Doyoung. Anak yang lahir dari sebuah kesalahan udah pasti punya jalan hidup yang berantakan, bukan?"

Sekali lagi, Doyoung ngerang frustasi dan mejamin matanya erat. Tangannya merambat naik dan ngejambak rambut, sambil ngebenturin dahinya ke pagar pembatas.

"Apa lo pernah liat gue di kecup pas dapet nilai bagus? Apa lo pernah ngeliat orang tua pergi ke rapat orang tua? Apa lo pernah liat gue dimasakin sarapan? Apa lo pikir gue pernah dapet ucapan selamat ulanh tahun dari orang tua sendiri? Apa lo pikir ketika gue berhasil ngewujudin apa yang mereka mau, mereka akan mengapresiasi?"

"Kenapa harus gue...kenapa..."

Doyoung terisak makin keras dan tetep ngebenturin kepalanya, malah makin kuat. Dia teriak, dia ngelampiasin semua beban dipundaknya tanpa ada seorang pun yang tau.

"God, bless me."

Cowo manis itu berubah, sekarang senyum seneng pas dia udah berhasil duduk di atas pagar pembatas dan kakinya ngegantung bebas di udara.

"I'm so done with this."

Doyoung berdiri di depan pagar pembatas dengan tangan yang masih megang pagar, matanya nerawang kebawah sana—tenang dan gelap. Kalo dia ngelepas tangannya, salah satu aja, dia bakal jatuh dan ngehantam air.

"Sorry."

Doyoung terjun bebas dari jembatan itu, ngehantam air dan ngerasain gimana perihnya air menuhin paru-parunya dengan lambat, ngebunuh dengan perlahan.



Al lemah banget, ngetik beginian aja nangis. Kalian nangis, ga? Ah pasti ngga, hehe.

[3] DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang