[23] Terang Bulan

339 33 9
                                        

Jangan lupa untuk terus dukung cerita ini ya guys, biar makin maju dan dikenal
Terimakasih
Selamat membaca!

-oOo-

Satu minggu berjalan, Bara masih menjadi babu Aya. Lelaki itu tak mengeluh. Karena sekarang Bara senang bisa dekat dengan Aya, selalu berada di sisi gadis itu. Terlebih perasannya yang kini sudah menaruh hati pada Aya. Hanya saja ia belum ingin mengungkapkan perasaannya.

Istirahat ketiga lelaki itu segera bertolak ke masjid bersama yang lain. Kebiasaan mereka selalu melepas sepatu di kelas. Bukannya takut hilang, hanya saja lebih leluasa tanpa alas kaki bagi mereka.

Setelah solat berjamaah, Bara dan yang lain duduk di teras masjid. Menunggu Bayu dan Bian yang masih di toilet. Ijat dan Wildan tampak seperti adik kakak, bermain ilalang yang mereka cabut dari samping masjid. Mengulang masa kecil mereka. Galuh merusuhi kedua orang itu sedangkan Dian menyimak sambil terkekeh geli. Danel memilih tak ikut, berdiam di kelas.

“Gimana, Bar?” tanya Pras membuat Bara menoleh dan menaikkan dagunya.

“Aya,” singkat lelaki lembut itu. Pras memang memiliki jiwa keibuan diantara mereka. Lembut dan selalu memberi nasihat. Peka dengan keadaan dan terlebih gayanya yang terkadang puitis. Sedangkan keayahan lebih diambil Bian, lelaki tegas, berbicara jika memang perlu. Bukan dingin, lelaki itu hanya tidak suka membuat omong kosong dan lebih memilih diam.

“Gue udah tau. Plot twist banget,” kata Bara.

“Njir kek alur film bae,” komentar Dian.

“Apa-apa?” tanya Galuh tidak sabar.

“Gak disini juga lah gue cerita,” jawab Bara.

Sesampainya di kelas, keadaan masih sepi. Hanya beberapa siswa siswi yang ada di sana. Bara juga tidak menemukan Aya dan kedua temannya.

“Bar, lo utang cerita nih,” celetuk Galuh.

“Cerita apa?” tanya Bayu.

“Alasan Aya sama Gebams putus,” jawab Pras.

Bara menghela nafas kemudian mulai bercerita. Semuanya, kecuali percakapan dirinya dan Aya setelah itu. Lebih ia bersingkat dan lebih ia perjelas.

“Kesimpulannya, gimanapun menurut gue di sini Bams sendiri tertekan,” ujar Bian.

“Secara, bapaknya bener-bener keras kalo didik. Kalo maunya ini ya harus dituruti, kasihan juga sih gue,” sambungnya.

“Lagian pake acara jodoh-jodohan segala, geli gue,” ucap Galuh bergidik.

“Gue sih denger karo orangtua Bams emang dijodohin dulunya,” sahut Bian.

“Tapi namanya anak pasti mencontoh semua perbuatan orangtuanya. Apalagi gen-nya, keliatan banget sikap Bams dominan dari bapaknya,” lanjutnya.

“Apalagi dia orang yang punya. Kita lawan itu bocah, bisa dihempas sekali gerakan, hush.” Dian menggerakkan tangannya menampar angin.

“Nah iya,” timpal Ijat.

“Pacarnya Bams cantik, Bar?” Semuanya menoleh pada Bayu yang bertanya.

“Bangsat, lagi serius berpendapat lah dia malah fokus ke ceweknya,” ujar Danel memutar bola matanya.

Bara mengangguk. Berlin memang cantik, tak kalah cantik dari Aya hanya saja tampak seperti orang yang bergantung pada obat. Bara hanya berspekulasi jangan hujat dirinya.

“Iya cantik, tapi mukanya lebih ke pucat,” sahut Bara.

“Anak mana?” tanya Bayu.

“Mau lo apain? Kalo lo pacarin mending jangan dah, urusan lo sama Donial nanti,” ingat Dian. Danel dan Ijat dengan kompak mengangguk setuju.

Mistakes [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang