[09] Devi

413 39 0
                                    

Devi berjalan menuju kantin, menyusul Aya dan Candra yang mungkin sudah makan dengan tenang disana.

Sedangkan Devi, masih tersulut emosi sebab perkataan Aril dan temannya itu. Cukup sudah Devi mendapatkan teman-teman yang palsu, dalam artian hanya mementingkan kebahagian, tak mau susah bareng, dan mementingkan kepuasan mereka sendiri.

Dikhianati adalah hal yang biasa bahkan wajar menurut Devi, karena saking seringnya ia mengalami. Devi selalu berdoa pada tuhan semoga mereka mendapatkan balasan yang setimpal untuk itu. Katakanlah jika Devi jahat, tak masalah. Dirinya tak tersinggung sama sekali.

Hanyalah seorang anak yatim piatu, Devi tinggal bersama nenek dan kakeknya yang sudah tua. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat ketika dirinya masih berusia 5 tahun. Besar tanpa kedua orangtua membuat Devi kadang menjadi bahan bullyan di SD dulu. Hingga ketika SMP ia mulai berani melawan siapa saja yang menginjaknya.

Banyak siswa maupun siswi yang ingin berteman dengan Devi membuat Devi bersyukur setidaknya dia tak jadi bahan bullyan lagi. Tapi lambat laun, mereka berubah. Ketika Devi tak kembali membuat ulah, mereka meninggalkannya satu persatu. Ketika Devi tak mau lagi diajak keluar malam, mereka menghindar dikemudian harinya. Bahkan Devi sempat berpacaran dengan anak kelas lain, dan ternyata dirinya hanya dimanfaatkan saja. Disuruh mengerjakan PR, bensinpun Devi yang bayar, apa-apa pasti Devi yang mengeluarkan uang.

Apalagi hubungan dengan sanak saudaranya tak begitu harmonis karena ulah Devi yang selalu membuat masalah membuat mereka menjadi sinis terhadapnya.

Uang tabungan orangtuanya pun dipegang oleh bibinya. Jika Devi memintapun, bibi maupun pamannya pasti mengira uang itu dipakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Dirinya hidup dengan mengandalkan uang pensiunan kakeknya yang mantan TNI.

Dirinya berharap semoga masih memiliki kesabaran untuk menghadapi masalah kedepannya.

“Dep awas oi!” teriakan itu membuat lamunan Devi buyar dan menoleh ke arah suara.

Tapi sialnya ketika baru saja ia menoleh, bola voli sudah menyambutnya terlebih dahulu dengan mencium pipi kanan Devi begitu keras membuatnya limbung.

“Anjing, hsshh,” ringis Devi memegang pipi kanannya yang perih plus cenut-cenut. Dirinya kini jatuh terduduk di tanah bervaping itu.

“Dep lo nggak pa pa kan?” Pras jongkok di hadapannya. Beberapa anak juga berlari ke arahnya untuk melihat dirinya.

“Siapa yang lempar?!” sewot Devi jutek membuat mereka menunjuk Pras sambil mengucapkan nama lelaki yang kini tersenyum canggung pada Devi.

“Sorry sorry, smash an gue meleset hehehe sorry ya?” Pras menggaruk pelipisnya sambil tersenyum canggung.

“Tapi lo oke, kan?” tanya Bayu.

Kepala Devi mengangguk kecil. “Oke oke, gue oke kok.”

“Gue bawa ke UKS ya? Biar diobatin petugas,” tawar Pras, menaikkan kedua alisnya.

“Nggak nggak, nggak usah.”

“Udah bawa aja, nanti malah kenapa-napa lagi,” sahut Ijat yang tengah mengupil.

“Jorok lo, jaga image dikit napa,” bisik Dian di sebelah Ijat.

“Biarin.”

“Dah dah! Bubar bubar, main lagi kuy!” seru Bara. Membuat mereka kembali ke tempat masing-masing.

Sedangkan Pras membawa Devi ke UKS.

“Eh lo obatin pipi dia, tadi habis kena bola,” ucap Pras kepada petugas PMR yang berjaga disana.

Mistakes [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang