[16] Eagle Hell

404 38 0
                                    

Vote komen ya Kakak Adik Mbak Mas Neng Abang Mbakyu
Jika melihat typo maka tolong koreksi dengan komentar berbaris
Terimakasih
Selamat membaca!

-oOo-

Aya menghampiri Meisya yang sudah duduk di motor ninja merah. Kedua gadis itu pagi tadi memarkirkan motor mereka di parkiran sekolah. Bersebelahan pula.

Hari sudah sore. Pukul empat Aya keluar dari kelas. Sedangkan Meisya, kelasnya sudah mengakhiri pelajaran sejak pukul setengah empat.

“Diva mana? Dia ikut gak?” tanya Aya bersander di motor CBR nya.

“Enggak. Mungkin nanti malam Disa ngambil alih tubuhnya terus baru gabung ke markas,” jawab Meisya.

“Gue pulang dulu nih? Ngambil laptop,” tanya Aya.

Meisya berpikir sejenak, ia menggigit bibir bawahnya kemudian menjilatnya. “Gak usah. Disa belum tentu nagih sekarang,” ucapnya sembari menggeleng.

Aya hanya mengangguk kemudian menaiki motor. Roknya sudah berganti menjadi celana jeans. Begitupun dengan Meisya.

Motor kedua perempuan tersebut melaju meninggalkan parkiran sekolah.

Sesampainya di gerbang yang menjulang tinggi dengan tembok beton tak kalah tinggi dan kokoh. Gerbang terbuka, mereka bergegas melajukan motornya memasuki wilayah tersebut.

Markas mereka, para manusia yang hidup di dunia gelap. Penuh dosa, kejam dan licik. Mereka memasuki rumah utama dengan cover yang sangat tua dan angker.

Memasuki ruangan, miniatur dan segala fasilitas mewah menyambut mereka. Berbanding terbalik dengan kondisi cover rumah, di dalam sangat bersih dan rapi.

Seorang laki-laki menghampiri mereka dan berkata, “Tuan Yosi menunggu kalian di ruangannya.”

“Terimakasih, Jack,” ucap Meisya.

Keduanya langsung masuk ke dalam lift yang tersedia di sana. Rumah utama terdiri dari empat lantai. Ruangan Yosi ada di lantai dua.

Sesampainya di lantai dua, keduanya keluar dari lift. Ada beberapa pria berbadan tegak dan kekar berlalu lalang. Mereka saling menyapa dengan senyum tipis.

Meisya mengetuk pintu ruangan Yosi. Teriakan pria paru baya terdengar mempersilakan mereka masuk.

Ruangan minimalis dengan furniture secukupnya berada di ruangan tersebut. Warna putih mendominasi dengan beberapa lukisan berwarna gelap yang kontras dengan tembok. Dinding kaca gelap yang berada di samping ruangan menampilkan pemandangan hamparan sawah yang luas.

“Enak Om liburannya?” tanya Aya dengan akrabnya. Tanpa dipersilakan duduk di sofa.

Yosi yang berdiri di depan rak buku—mencari file berkas— langsung menoleh. Diurungkan niatnya, dan kini ia berjalan menuju dua gadis itu. Meisya masih berdiri tak jauh dari sofa.

Mata Yosi memberi kode agar Meisya duduk. Gadis itu duduk di sofa single, membiarkan Aya yang kini berleye-leye di sofa panjang. Yosi duduk di seberang Meisya, sama-sama duduk di sofa single.

“Liburan, Ndasmu,” umpat Yosi, “kalau bukan karena anak, gak bakal juga Om pergi.”

Baik Meisya maupun Aya sama-sama terkekeh mendengar penuturan Yosi. Bukan rahasia lagi jika pria paru baya itu sangat menyayangi putra tunggalnya. Hingga tidak membiarkan siapapun menangkap dan melukai Zico.

“Kok lama?” tanya Aya sembari memutar-mutar gantungan kunci dengan jari telunjuk.

“Cina. Pemerintah sana susah ngasih kelonggaran hukum. Apalagi ini soal rahasia negara. Makin rumit hukumnya,” jelas Yosi.

Mistakes [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang