[28] Waktu berdua

283 36 6
                                    

HAI!!! LAMA GAK KETEMU NIH
PADA KANGEN GAK?

MAAF NGARET UPDATE HEHEHE
VOTE KOMEN JANGAN LUPA YA

SELAMAT MEMBACA! ❤

🍻

Siang ini Aya mendapat pesan dari Gebams. Sebuah pesan suara dimana nenek lelaki itu menanyakan kabarnya. Aya paham betul apa maksudnya. Sudah lama ia tidak menjenguk lelaki yang masih terbaring di rumah sakit itu. Gebams punya banyak cara untuk menarik dirinya masuk kembali ke dalam lingkaran hidup lelaki angkuh itu.

Aya melirik Bara yang tengah bergurau dengan yang lain. Ia berpikir untuk mengajak Bara sore nanti. Ah, Aya ingat kali ini, Bara masih berpredikat sebagai babu-nya. Lagipula ia juga nebeng pada Bara pagi tadi.

“Bar,” panggil Aya.

Bara bangkit dan duduk di samping gadis itu. Dagunya ditarik naik tanda bertanya.

“Pulang sekolah mampir ke rumah sakit, mau?” tanya Aya.

Seolah tau apa yang dimaksud, Bara masih diam memandangi Aya tanpa ekspresi. Aya menelan ludahnya merasa kering di tenggorokan.

Lelaki itu mengangguk kemudian mengalihkan pandangan. Aya menegakkan tubuh, duduk miring di kursinya agar bisa melihat Bara dengan jelas.

“Mau, kan?” tanyanya sekali lagi.

Bara menghela nafas, dengan tersenyum paksa menimpali ucapan Aya sembari mengangguk. Dari lubuk hati Aya, ia sedikit tidak enak. Terlebih melihat respon Bara.

“Makasih,” timpal Aya tersenyum senduh. Menunjukkan ketidakberdayaan, Bara tau itu.

Lelaki itu juga cukup waras dan tahu diri ketika harus menolak bahkan melarang Aya untuk menjenguk mantan gadis tersebut. Ia tak punya hak untuk marah ataupun mencegah.

🍻🍻

Sesuai keinginan Gebams. Sore ini Aya berada di ruang inap lelaki itu. Gebams tampak sudah sehat, tersisa gips yang masih menempel di sisi lengan dan infus masih menempel di punggung tangan lelaki itu.

Bara meletakkan plastik belanjaan di meja. Sebelum ke rumah sakit mereka membeli beberapa buah serta camilan untuk Gebams.

Aya menarik kursi kecil ke dekat bankar membiarkan Bara duduk di sofa sendiri. Bara memilih mengalihkan pandangan, tak ingin terbakar api cemburu.

“Berlin udah pulang?” tanya Aya membuka pembicaraan.

“Udah. Dari tadi pagi dan di sini baru pulang jam empat tadi,” jawab Gebams.

Aya mengangguk menanggapinya. “Terus Nenek lo juga udah pulang?”

Gebams mengangguk. “Bareng sama Berlin.”

“Kenapa? Kalo bukan karena Nenek, kamu gak bakal ke sini ya?” tebak Gebams.

Aya menghela nafas. Bukan hal baru untuknya ketika Gebams melayangkan tuduhan yang tampak menyudutkan untuknya. Semasa pacaran, lelaki itu begitu protektiv dan menuntut.

“Kan gue udah bilang, akhir-akhir ini gue lagi gak enak badan. Kurangi prasangka buruk lo, bikin orang gak nyaman,” cetus Aya terkesan jutek.

Gebams menghela nafas merasa salah. Tangannya yang tidak ter-gips menjangkau tangan Aya. Digenggamnya dengan lembut serta diusap dengan pelan. Bodohnya Aya tak berusaha menolak.

“Aku udah terbiasa sama Berlin, tapi gak ada rasa yang muncul, Sya. Aku peka dengan lagak kamu yang berusaha menjauh. Aku tau, kamu pengen aku deket sama Berlin, tapi kalo hati aku stuck buat kamu, aku bisa apa Sya?” Gebams terdengar lemah dan tersakiti.

Mistakes [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang