58. Matahari Terbit

766 80 22
                                    

(OST

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(OST. Matahari Terbit By Pohon Tua)

•••

Matahari Terbit

•••

Adit pikir saking terlalu rindu, dia sampai berhalusinasi mendengar suara Gesna di antara rinai hujan malam ini. Namun, pintu yang digedor-gedor membuat Adit bergegas menuju pintu dan membukanya. Tanpa disangka, Gesna benar-benar datang dengan kondisi tubuh basah kuyup. "Non," tegur Adit tertegun heran.

"Pinjam uang dua puluh ribu." Gesna mengulurkan tangan, Adit mengernyit. Untuk apa uang dua puluh ribu rupiah? Ujung jari Gesna menunjuk ke arah jalan. "Mau bayar bajaj. Buruan."

Adit lalu berbalik masuk, mengambil dompet dan menyerahkan uang yang diminta Gesna. Ini sudah pukul dua belas malam. Cukup larut jika sekadar memberi kejutan atau bermain-main. Dia mengajak Gesna masuk dan memberi handuk. Raut muka cewek itu terlihat sangat kusut, untuk mengusap muka saja tidak mampu. "Kamu kenapa, Non? Kok tiba-tiba ke sini enggak kasih kabar dahulu?"

Gesna menggeleng lalu terduduk di lantai. Cewek itu memeluk lutut sambil menangis keras sekali. Adit tidak dapat membedakan mana air hujan dan mana air mata di wajah itu. Apakah Gesna sudah lama menangis?

"Non..." Tangan Adit terjulur untuk membenarkan handuk yang merosot ke lantai, menyelimuti punggung Gesna kembali. Dia ikut berjongkok. "Kenapa? Hm...."

Bukan menjawab, Gesna malah semakin tersedu-sedu. Air matanya bertetesan ke lantai. Tadi, saat dia mendengar suara gerakan dari dalam kamar karena gelas pecah, Gesna langsung mengambil langkah seribu. Berlari secepatnya meninggalkan rumah, tanpa bekal apa pun. Dia tidak membawa dompet, jaket juga ponsel. Jody biadab! Berani-beraninya lelaki itu membawa wanita lain ke dalam rumah. Kaki Gesna terus saja berlari kencang membelah langit yang berhujan deras, menyetop bajaj di depan kompleks dan minta diantar ke rumah Adit. Dia juga tidak tahu mengapa hanya terpikirkan pergi ke tempat Adit, bukan tempat Guntur atau Naraya. Otaknya buntu, dia tidak bisa berpikir lagi apa yang akan dikatakan orang tua Adit saat melihat kedatangannya malam-malam ke rumah ini.

Tidak kunjung mendapat jawaban, Adit lalu memilih diam dan merangkul Gesna. Membiarkan cewek itu menangis di pundaknya. Dari dulu, Adit tahu, Gesna bukanlah cewek cengeng. Sehingga dia juga paham kalau saat ini, Gesna cukup terpukul. Dia kemudian tidak bertanya lagi, merentangkan tangan, memberikan pelukan.

Cukup lama juga Gesna menangis hingga mata itu sembap. Meski air mata sudah tidak turun lagi, cewek itu masih tersengut-sengut. "Ganti baju dulu, ya? Biar baju kamu dicuci. Di rumah ini enggak sedia dalaman cewek soalnya."

Adit menarik pelan tubuh Gesna agar bangun dan mengajaknya duduk di bangku. Dia mengambilkan baju dan celana pendek untuk ganti lalu menyerahkan ke cewek itu. Gesna hanya termangu, menatap kosong ke depan. "Ganti dulu, Non. Nanti bisa sakit."

MATAHARI APITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang