29 - Hadapi Bersama

84 37 17
                                    

Rayhan berbaring memandang langit biru, satu tangannya ia jadikan bantal satunya lagi ia letakkan di atas keningnya. Matanya menatap langit yang cerah, angin sepoi berhembus membuat rambutnya berantakkan.

Rooftop menjadi pelariannya kini, ia tak masuk kelas. Rayhan meraih tas di sampingnya, mengambil sebuah buku. Tangannya bergerak di atas kertas putih itu, pensil yang ia pegang menari membentuk wajah seseorang, menggambar senyum malu-malu, pipi yang tersipu.

Dera.

Gambar sederhana gadis itu selesai ia buat, cukup lama ia hanya memandangi, tanpa sadar bibirnya terangkat membentuk senyum tulus.

Pikirnya kini melayang kala ia mengingat perintah ibunya. Rayhan menghela napas berat, senyumnya luntur begitu saja. Ibunya tak merestui hubungannya dengan gadis pilihan hatinya, padahal baru saja ia ingin memperjuangkan gadis itu sebisa mungkin, sekuat yang ia mampu.

Rayhan meletakkan bukunya di atas dada, ia biarkan gambar wajah Dera terpampang jelas, seolah ia ingin menunjukkan pada langit bahwa gadis yang awal pertemuannya tak ia suka, karena hampir membuat mereka celaka namun kini berhasil menyita pikirannya, membuat perasaannya tak menentu. Tasnya kini jadi bantal, matanya terpejam sementara tangannya ia letakkan di atas matanya.

"Ray, bangun!"

Suara dan guncangan di tubuhnya membuat Rayhan terbangun, entah sudah berapa lama ia tertidur. Rayhan mengangkat tangannya. Ia mendapati Vito kini duduk di sebelahnya. Matanya menyipit melihat buku yang ada di tangan cowok itu, seketika ia duduk.

"Gue gak nyangka, lo bisa gambar juga," ujar Vito, matanya masih menatap buku.

Rayhan hanya tersenyum tipis tak berniat membalas ucapan cowok di sebelahnya itu, matanya menatap lurus kedepan.

"Gue denger lo udah jadian sama Dera," ucap Vito memecah keheningan antara keduanya.

"Iya," Rayhan terdiam sesaat. "Gue tau lo suka sama dia," lanjutnya lagi.

Vito mengangguk, "Gue rasa hal yang wajar cowok suka sama Dera, dia cantik, manis dan kalem juga. Terus gimana sama Keisya? Lo tau kan, gimana fans lo satu itu," Vito menoleh sebentar kearah Rayhan. "Gue gak begitu tau sih apa aja yang dilakuin sama Keisya, soalnya gue lagi gencar-gencarnya latihan buat tanding, sama kayak lo yang sibuk belajar."

Rayhan hanya diam, ia biarkan kebisuan mengisi mereka.

"Vit, lo serius suka sama pacar gue?" Rayhan menoleh ke arah Vito, tatapannya serius.

Vito terkejut atas pertanyaan Rayhan barusan.

"Kalau lo beneran suka dan gak ada niat nyakitin dia.. Lo boleh perjuangin dia."

Belum hilang keterkejutan Vito, kini Rayhan sudah membuatnya berhenti berpikir. "Maksud lo apaan? Lo mau nyuruh gue rebut cewek lo?" kening Vito berkerut, "Lo jangan jadi bangsat! Gue tau kita gak deket, tapi gue tau lo orang kayak gimana!" nada suara Vito sudah naik satu oktaf.

"Gue gak tau lo ada masalah apa sama Dera, tapi Ray.. Kalau gue jadi lo, gue bakalan perjuangin apa yang membuat gue bahagia." setelah mengucapkan kalimat itu, Vito menepuk pundak Rayhan pelan lalu ia berdiri.

"Ray, jangan sakitin Dera, dia cewek yang baik, dan gue tau lo juga orang yang baik. Apapun masalah lo sama dia saat ini, gak ada salahnya lo perjuangin dia dulu..." setelah mengucapkan kata itu, Vito pergi meninggalkan Rayhan.

"Tapi kalau lo nyakitin Dera, gue orang pertama yang akan nyari lo." Rayhan baru berdiri ketika suara Vito kembali terdengar, setelah itu Vito benar-benar pergi dari sana.

***

Dera berjalan menuju gerbang bersama Cindy, hari ini ia lebih banyak diam. Walaupun ia tak seaktif Cindy ketika berbicara, tapi hari ini ia benar-benar tak ingin berbicara. Energinya habis karena masalah yang kini ia hadapi. Tadi siang ia ke toilet hanya untuk menangis, mengurangi beban yang ada di pundaknya, meringankan sedikit letih yang ada dalam pikirannya, membasuh wajahnya untuk membari kesejukan pada hatinya. Fokus dan konsentrasinya pun terpecah ketika guru menerangkan di kelas, beberapa kali ia di tegur karena melamun.

"Eh Der, itu bukannya Rayhan? Loh, kok dia ada disana terus pakai seragam lagi?"

Pertanyaan Cindy membuat Dera mengikuti arah pandang gadis itu. Di seberang jalan Rayhan duduk di atas motornya, menatap Dera lekat. Mata keduanya bertemu, lewat tatapan Dera sampaikan letih yang ia rasa, begitu pula Rayhan tatapannya redup, ia sampaikan sejuta arti lewat lensa coklatnya.

"Der," Cindy menyenggol lengan Dera dengan sikunya, "Buruan samperin, ngadu noh," suruhnya seraya menunjuk Rayhan dengan dagunya.

Dera sedikit tersentak, buru-buru menetralkan wajahnya. Ia menggeleng, "Gak usah, gue capek Cin," ujarnya lirih, matanya tak lepas dari Rayhan.

"Gemes gue sama lo berdua," Cindy berjalan menyeberang, Dera yang melihat Cindy mulai panik, dengan langkah terburu-buru ia segera mengejar meraih pergelangan tangan cewek itu.

"Cindy, please jangan kasih tau Rayhan. Biarin dia fokus lomba dulu," Dera memelas.

Kening Cindy berkerut, "Siapa yang mau ngadu sama pacar lo? Orang gue mau pulang. Tuh, supir gue udah jemput," lewat ekor matanya Cindy melirik mobil yang parkir di depan Rayhan. "Lagian yang harusnya ngadu itu, elo. Ya masak gue? Kalau gue pacarnya Rayhan sih, boleh aja hahaha," gurau Cindy.

Gadis itu menarik tangan Dera hingga kini mereka sudah di pinggir jalan. "Gue gak mau mati muda, belum lulus sama kuliah sama bahagiain ortu juga, lo berentiin gue di tegah jalan. Oh, gue belum ketemu jodoh sehidup sesurga juga." Cindy melepas tangan Dera, sementara Dera hanya meringis mendengar ocehan Cindy.

"Bilang tuh, sama pacar lo. Punya pacar cakep, itu susah emang. Tapi gak punya pacar itu nyesek." ujar Cindy cemberut.

"Ah, lo diem mulu dari tadi! Yaudah gue pulang dulu yaa, bye Byee my Deraa," Cindy berjalan menuju mobilnya dengan melambaikan tangannya, Dera tersenyum ikut melambaikan tangan juga.

Dera masih melihat mobil Cindy hingga hilang di telan jarak. Ia tak berani membalik tubuhnya karena jika ia berbalik maka ia akan berhadapan dengan Rayhan.

Cukup lama Dera terdiam, jari-jemarinya saling menggengam, matanya melihat ke ujung sepatunya.

"Mau aku anterin pulang?" pada akhirnya Rayhan menemukan suaranya.

Dera masih diam, ia sangat ingin. Tapi ia takut jika nanti Rayhan bertemu maminya maka mereka akan berakhir.

"Ra.." panggil Rayhan. "Mau pulang bareng?" Rayhan kembali bertanya. Rayhan meraih tangan Dera agar perempuan itu berbalik menghadapnya.

"Kenapa, Ra? Kamu gak mau pulang bareng aku lagi?"

Dera menggeleng. Kerongkongannya terasa kering.

Perlahan Rayhan melepas genggaman tangannya, hal itu pun tak luput dari tatapan Dera. Matanya memanas, perasaannya hancur, ia merasa Rayhan seolah ingin melepas dirinya. Sebelum tangan itu benar-benar lepas, Dera segera meraih tangan Rayhan, menggenggam tangan itu erat.

"Ray, aku capek." Dera menjeda sejenak, "Tapi aku belum nyerah." suaranya tersekat seiring air matanya ikut jatuh menggenang di pipi. "Aku mohon Ray, kita berjuang sama-sama.. Kita hadapin ini bareng-bareng.." matanya yang berair menatap Rayhan. "Aku nggak tau alasannya, kenapa mami aku gak suka sama kamu." Dera menggeleng. Ia menghela napas berat, oksigen di sekitarnya menipis. "Tapi tolong, bantu aku yakinin mami kalau kamu bukan pilihan yang salah.." kalimat itu penuh permohonan.

Rayhan tak menyangka Dera akan mengatakan kalimat permohonan seperti ini, genggaman di tangannya  semakin erat. Ia benar-benar terkejut, bahwa nyatanya bukan hanya ibunya yang tak merestui mereka, tapi mami Dera pun begitu. Entah apa yang terjadi di masa lalu hingga mereka lah yang harus menanggung semua ini. Rayhan menatap mata Dera yang menangis, disana dapat ia lihat betapa lelahnya gadis itu.

Rayhan membalas genggaman Dera, ia mengangguk. "Kita berjuang sama-sama." senyumnya terkembang menularkan hal yang sama pada perempuan di depannya.

***

Hola! Laho!

Apasih, wkwk

Makasihh yang udah bacaaa

Tekan bintang dan komen ditungguuu

See you in the next chapter, byee 👋

Love,

Gusti Aini

Sebatas Angan dan Seujung Rindu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang