47 - Sebuah Pengakuan

70 28 29
                                    

"Hai guys!"

Semua mata langsung melihat kearah Vito dan Dera.

Sontak saja tatapan terkejut terlihat dari tiga pasang mata itu, namun hanya beberapa detik. Suasana berubah canggung, walau tadi sudah begitu namun kini lebih canggung lagi. Vito juga merasakan hal itu, padahal saat menyapa ia biasa saja. Tapi berbeda saat semua mata tertuju kearahnya dan Dera.

"Ehemm," Rian berdehem pelan, berusaha mengurangi suasana yang tercipta.

Ia menatap Vito sejenak, lalu beralih menatap sahabatnya. Wajah Rayhan terlihat datar, tapi sorot matanya tak lepas dari Dera.

"Eh, oh ya? Ini siapa?" tanya Vito berusaha mencairkan suasana. Ia menunjuk Bening lewat tatapannya.

"Bening," jawab Rian dan Rayhan kompak. Keduanya menoleh terkejut.

Senyum Vito terbit, "Wihh, kompak yaa.." ia terkekeh pelan.

"Pacar lo, Yan?" tanya Vito lagi, menbuat Dera tersedak sebab ia sedang memakan eskrim di tangannya.

Kini Dera menjadi pusat perhatian. Mulutnya jadi sedikit belepotan, seolah gerak refleks Vito mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, lalu mengelap bibir Dera.

Rayhan membuang muka ke danau. Tangannya terkepal di dalam saku celananya. Bening melihat perubahan wajah Rayhan paham bahwa sebenarnya lelaki itu menahan marah. Artinya ia masih punya rasa pada Dera. Bening tertunduk sedih, sudah ia duga dari lama, tak seharusnya boleh mempunyai perasaan lebih untuk lelaki di sampingnya ini.

"Makannya pelan-pelan dong, Ra. Mau gue beliin minum?" ujar Vito lembut.

Dera menggeleng, "Gak perlu, To. Makasih.." ucapnya pelan, sembari menjauhkan tangan Vito pelan.

Vito mengangguk.

"Kalo lagi di mabuk cinta, dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak." celetuk Rian sekaligus mencibir Vito.

"Siapa? Lo?" tanya Vito mengabaikan sindiran Rian.

"Kok gue? Ya, elo lah!" balas Rian.

"Oh,"

Vito berjalan beberapa langkah hingga kini ia berada di samping Rayhan. Di sebelah meraka ada kursi taman, dan tak jauh juga ada dua ayunan. Vito duduk di kursi taman yang menghadap danau itu.

"Lo Semua mau berdiri aja, mending duduk deh. Capek tau gak, berdiri mulu,"

Mendengar sahutan Vito, Rian juga ikutan duduk, ia sudah lelah berdiri. "Sini Ray, duduk masih muat nih!" tawar Rian sembari memberi ruang untuk sahabatnya.

Melihat tak ada lagi ruang di kursi taman tersebut, Bening berinisiatif mengajak Dera duduk di ayunan yang tak jauh dari tempat mereka sekarang.

Hening.

Dera dan Bening sama-sama terdiam. Suasana canggung yang tadi sudah mencair kini kembali hadir pada mereka berdua. Entah untuk alasan apa.

Dera hanya menatap danau di depannya sambil sedikit mengayun kakinya agar ayunan naik. Sementara Bening tertunduk tanpa mengayunkan kakinya sama sekali.

Cukup lama mereka nikmati keheningan yang ada. Sampai helaan napas Bening mengusik perhatian Dera.

"Kenapa Bening? Kamu masih sedih?" Dera akhirnya bertanya.

Bening tersentak halus, lalu mengangkat kepalanya, menoleh pada gadis di sampingnya.

"Kamu masih sedih karena bapak?" tanya Dera lagi lebih jelas.

Bening bingung harus menjawab bagaimana. Satu sisi ia ingin menjawab tidak sedih karena itu. Tapi tak semudah itu untuk mengatakan bahwa ia sudah baik-baik saja, walau ia sudah lebih baik dari beberapa hari yang lalu. Di sisi lain, ia juga tak bisa mengatakan bahwa ia sedih karena Rayhan yang ternyata tak mempunyai perasaan yang sama untuknya. Rasanya Bening semakin bimbang harus jujur atau tidak.

Sebatas Angan dan Seujung Rindu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang