35 - Keluarga Sederhana

84 33 13
                                    

"Ra, pulang bareng gue mau?"

Dera dan Cindy baru saja melewati kelas IPS ketika Vito menahan Dera. Dera menatap Vito sesaat, ia tadi pagi pergi ke sekolah diam-diam tanpa di antar supir. Rasanya kurang konsisten jika pulang sekarang harus menunggu mang Dadang. Dan pula Vito pilihan satu-satunya.

"Iya, deh." balasnya.

Cindy di sampingnya terkejut. "Seriusan Der?" tanyanya kaget.

"Iyalah, kenapa emangnya?"

Vito yang tak kalah terkejutnya seperti Cindy tersenyum senang mendengar jawaban Dera barusan.

"Kok, cepet banget lo iyain." Cindy mendekat dan berbisik. "Ntar, Rayhan marah sama lo, gara-gara lo pulang bareng Vito!"

Raut wajah Dera berubah ragu setelah memdengar bisikan Cindy barusan.

Ia kembali menatap Vito. "Umm, Vito kayaknya lain kali aja," ucapnya bersalah.

"Yah, Ra. Kali ini aja,"

Dera berpikir menimang sebentar, namun akhirnya ia mengangguk juga. "Kali ini aja, deh."

Bukan tanpa alasan Dera mengiyakan ajakan Vito, dia teringat beberapa waktu lalu dia sudah menolak Vito dengan tak sopan. Dimana harusnya ia pulang bersama namun hanya karena melihat Rayhan pulang bersama Keisya, Dera membatalkan begitu saja tawaran Vito bahkan ia langsung naik mobilnya tanpa menjelaskan alasannya. Dera meringis pelan mengingat kejadian itu.

Cindy tercengang, "Der, lo gak inget Rayhan?" tanyanya heran.

"Nanti gue jelasin, Rayhan pasti ngerti kok," Dera tersenyum kecil.

"Yes! Yaudah ayo, Der." seru Vito senang. "Duluan ya, Cindy! Byee.."

***

Rayhan kini tengah menunggu Bening untuk pulang bersama, tadi mereka mengobrol sebentar. Dan setelah Rayhan tahu kaki Bening kembali berdarah karena perempuan itu mengayuh sepeda, dengan kekeuh Rayhan memaksa Bening agar pulang bersama. Ia akan membonceng Bening dengan sepeda perempuan itu.
Rayhan tak kembali lagi ke SMAnya tapi ia sudah mendapat izin untuk tidak mengikuti pelajaran hari ini. Ia juga berbikir jika ia tetap kesekolah namun pikirannya melayang entah kemana, tak akan ada pelajaran yang masuk ke otaknya.

Dari jauh Rayhan melihat Bening berjalan pelan ke arahnya, bibirnya tetap menyunggingkan senyum manis.

"Seriusan kamu mau boncengin aku?" tanyanya ketika sampai di sebelah Rayhan.

"Udah di bilangin, iya juga! Masih juga nanya?" Rayhan sudah siap. "Ayo buruan naik,"

Bening naik sepeda berdiri gugup memegang pundak Rayhan. Rambut Rayhan sedikit berantakan di terpa angin, tapi itu tak mengurangi ketampanannya.

Canggung.

Itu yang Bening rasakan. Andai jantungnya bisa normal saja, mungkin ia akan biasa saja. Tapi nyatanya ia tak bisa.

Bening tau ia sudah salah langkah. Ia tau tak seharusnya punya perasaan ini. Tapi perlakuan Rayhan membuatnya terlena. Bening hanya ingin berharap semesta berpihak padanya, semesta mengaminkan doanya.

"Bening, kok diem aja? Lutut kamu masih sakit?" pertanyaan kental khawatir itu lagi-lagi membuat Bening berharap lebih.

Ia menggeleng, bukan untuk menjawab Rayhan tapi dia hanya merasa tak boleh seperti ini.

"Cuma perih aja, Ray."

Rayhan mengerem mendadak. Ia menoleh pada lutut Bening. "Emang perih kenapa?" tanyanya khawatir, bagaimana tidak luka itu di sebabkan olehnya. Jadi ia hanya ingin bertanggung jawab.

Sebatas Angan dan Seujung Rindu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang