7 - Patah Hati

205 86 33
                                    

Untuk kebanyakan remaja, weekend merupakan hari libur sejati. Ada yang menghabiskan waktu pergi bersama teman walau hanya sekedar duduk santai atau yang kerap dikenal nongkrong. Bagi yang sudah punya pasangan ada yang pergi ngedate atau liburan singkat ke tempat wisata bersama keluarga. Ada juga yang hanya rebahan seharian dikamar.

Tapi untuk pemuda yang kini tengah mengecek nama di catatan kecilnya, semua opsi di atas tak masuk rutinitasnya. Ibunya yang menerima jasa cuci-setrika pakaian dirumah sendiri, tanpa karyawan, membuat Rayhan mengambil alih jadi karyawan di waktu senggangnya tak terkecuali di hari minggu begini.

"Ini udah semua Bu?" tanyanya sembari merapikan kantong kresek yang akan ia bawa.

"Iya Ray, hari ini cuma segini, yang lain udah ibu antar kemarin,"

Rayhan hanya mengangguk tanpa melihat. Ia segera memakai sepatu bersiap untuk tukang antar laundry. "Rayhan berangkat dulu Bu," Tangan kanannya menyalami Shinta, sedang satunya memegang kresek berukuran besar. "Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumusalaam, hati-hati Ray.."

Shinta tersenyum hingga motor anaknya hilang di pandangan. Senyum sedih muncul kala memori masa lalu menyergap ingatannya. "Andai saja ayah kamu masih ada Ray, kamu nggak akan banting tulang begini, kamu juga masih bisa menikmati masa-masa remaja layaknya anak lain." Shinta memeluk tubuhnya dengan kedua tangan sendiri. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat saat tubuhnya mulai bergetar. Dan tanpa dapat dicegah air matanya luruh seiring kepingan demi kepingan masa lalu menghantam otaknya.

Rasa sesak itu seolah tak pernah berkurang walau kini sudah belasan tahun berlalu.

Andaikan saja.

***

Dera mulai bosan, dari pagi ia hanya berdiam diri dikamar. Ia menutup laptop yang menjadi pelampiasan sejak subuh tadi, matanya pun sudah mulai pedih, antara sinar dari laptop atau film yang ia tonton. Tapi mengingat yang ia tonton adalah film fairytales sepertinya pernyataan pertama lebih tepat.

Ia berguling hingga kini menjadi telentang, matanya menatap langit-langit kamarnya. Tatapan itu kosong, pikirannya pun terasa entah kemana, terasa ada yang hampa. Hingga bermenit-menit setelahnya barulah Dera menghela napas panjang. Ia bangkit dari kasur, berniat mencari udara segar. Kepalanya menggeleng pelan saat sadar tiba-tiba pikirannya mendatangkan Rayhan.

"Ck, kenapa malah kepikiran dia sih! Kayaknya gue harus cari udara segar."

Dera memoles wajahnya dengan bedak tipis, sedikit menambahkan lipbalm pada bibir pucatnya. Mengambil jaket secara acak, lalu menarik tas selempang yang senada dengan jaketnya.

Rumah sebesar selebritis Indonesia ini terasa sepi. Ia anak tunggal, dan maminya jarang dirumah. Dera hanya mengangguk sekilas membalas anggukan beserta senyum dari para pelayan. Matanya menangkap figur mang Dadang di depan rumah sedang mencuci mobil. "Pagi mang,"

Mang Dadang menoleh, "Eh, non Dera. Pagi non," ia memperhatikan Dera sejenak sebelum menyadari sesuatu. "Loh, non mau pergi, ya? Ini mobilnya masih mamang cuci, non..."

Dera mengibaskan satu tangan sembari tersenyum kecil, "Gapapa mang, lanjut aja. Aku cuman mau keluar deket sini aja kok."

"Oh, hehe. Iya deh, non."

Dera hanya melebarkan senyum sebelum melangkah menuju gerbang.

Mang Dadang menatap punggung Dera kian mengecil sebelum hilang dibalik gerbang. "Hampura euweuh Dera, kudu ngarasa sepi." gumamnya dengan logat Sunda. "Ternyata jadi orang kaya teu ngajamin bahagia." Mang Dadang menggelengkan kepala miris.

Sebatas Angan dan Seujung Rindu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang