B a g i a n T i g a P u l u h E n a m
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Seluruh doa itu terjawab.
Seulgi membuka kembali jendela dunianya, berbicara kepada mereka kendati dia masih menghindari beberapa orang.
Ia kembali, tubuhnya menunjukkan progress yang baik. Ada trauma di syaraf motoriknya sehingga ia harus menjalani fisio terapi untuk memulihkan kedua kakinya. Beruntung, tidak begitu berpengaruh pada kedua tangannya. Kendati demikian, ia tetap tidak bisa melakukan apa apa seorang diri, sebab kedua tangannya terlalu lemah.
Dalam satu minggu ini, ia dipaksa untuk memahami bahwa dia adalah Jeon Seulgi, putri sulung Jeon Jiho dan kakak se-ayah Jeon Jungkook.
Pun demikian, ia tetap merasa asing. Jiwanya terasa kosong. Ia tidak memahami, ia tidak bisa menerima jika tidak ada satupun ingatan dalam kepalanya tentang mereka. Bahkan tentang dirinya sendiri.
Sebab itu dia menjadi begitu takut, tidak dapat banyak mempercayai dan satu satunya yang paling tidak bisa dipercayainya adalah dia, lelaki itu yang saat ini duduk jauh di sofa.
Ia datang setiap hari, membawa sebucket bunga sampai sampai ruangannya penuh dengan bunga. Kadang ia membawa boneka beruang warna cokelat. Katanya, Seulgi menyukainya. Entah dia tidak ingat.
Lelaki itu tetap datang walau Seulgi enggan berbicara padanya, walaupun ia hanya akan berada di sudut ruang dan memandanginya dari jauh, dia tetap datang. Saat dia berlatih menggunakan otot otot tangannya dia ada, saat ia terbangun di malam haripun dia ada. Seolah lelaki itu tidak punya kehidupan lain selain menunggui Jeon Seulgi.
Katanya, namanya Jimin. Park Jimin. Kata seorang perawat yang mengoceh padanya, dia lelaki hebat dengan segudang prestasi, pebisnis muda yang sangat sukses. Entah kenapa lelaki semacam itu terlihat tidak punya pekerjaan sekali.
Parahnya, kata Irene —dokter yang mengaku sahabatnya, Jimin itu kekasihnya.
Haha. Lucu.
Setelah tidak ingat apapun bahkan tentang dirinya sendiri, pengakuan semacam itu sangat menggelikan baginya. Entahlah. Seberapa banyakpun orang mengaku mengenalnya, ia merasa seolah menghuni dunia ini seorang diri.
Ini menyesakkan.
Tangannya yang lemas bagaikan tidak bertulang itu ia gerakkan untuk menggenggam sendok dan mengeruk sejumput nasi. Ia sedang berlatih makan sendiri.
Sialnya, disini hanya ada dia dan perawatnya lalu pria itu disudut sofa, mengamatinya. Seolah dia adalah sesuatu yang begitu menyenangkan dilihat sepanjang waktu. Seulgi memaki dalam hati, sejumput nasi itu terbang ke selimutnya, di iringi suara sendok menubruk mangkuk beling.
KAMU SEDANG MEMBACA
{✔️Complete} GROWING PAIN
FanfictionDunia seperti memainkannya, mengejeknya, mengoloknya karena selalu gagal, selalu sendirian, selalu terluka, selalu menderita, selalu fakta tentangnya adalah menyakitkan Luka itu tidak pernah sembuh, sekian lama justru semakin tumbuh dan semakin meny...