"Tapi, Bu. Mas Torra bilang--"
"--Jangan bilang apa-apa, Mbok Darmi! Saya yang akan bertanggung jawab atas semua. Kamu cukup mengantar nampan ini ke atas, dan semuanya selesai!" ujar Theresa memotong ucapan pelayan tua di rumahnya.
Keduanya berada di dalam dapur, menyiapkan satu nampan besar berisi makanan olahan dari sebuah restoran, yang sebelumnya sudah dibawa oleh Theresa dan Laura. Wanita tiga puluh dua tahun itu mengajarkan satu demi satu cara untuk menyingkirkan janin dalam kandungan Inna Bastari, namun ada sanggahan yang keluar dari isi kepala ibu kandung Torra.
Hal tersebut tentu saja karena Theresa mengetahui tentang kebiasaan Inna yang jarang menyentuh penganan ringan selama menjadi bagian dari keluarga Mahardika, maka sebagai gantinya, opsi pun berubah dengan melipir ke tempat lain.
"Itu darah daging ibu juga, kan? Bukannya mau menggurui, tapi apa ibu yakin Mas Torra nggak akan marah nanti?" Frekuensi suara Mbok Darmi tetap sama.
"Mbok Darmi sudah berapa tahun ikut saya, heh? Tahu nggak tabiat buruk saya apa aja?" Membuat Theresa meradang, mengingatkan tentang statusnya di rumah itu.
Masih dengan nada yang sama, Mbok Darmi rupanya belum mau berbuat dosa pada bayi dalam kandungan Inna Bastari, sehingga kegiatan saling sahut pun terjadi sekali lagi. "Nun sewu, Bu. Saya cuma takut dosa--"
"--Dan membuat masa depan si Mas menjadi berantakan? Dia yang merebut Mas dari Laura, Mbok Darrr... Simbok lupa bagaimana hubungan bahagia mereka dulu? Cuma ditinggal kuliah aja sama Laura ke Australi, Mbok. Tapi Mas diganggu sama pelacur itu!" Theresa jelas tak mau mengalah, dan Mbok Darmi pun tetap berpegang teguh pada pendiriannya.
Berada di posisi terjepit, segala daya upaya tampak begitu sengit dilakukan pelayan tersebut di sana, "Mungkin bukan jodohnya, Bu. Duh, Gusti! Sabar, Bu. Sabarrr..."
"Jangan kelewatan, Mbok! Ingat status Mbok di rumah ini! Aku majikannya, jadi lakukan apa yang kusuruh!" Tetapi semua tak berlangsung lama, ketika pemenangnya sudah jelas hanyalah sang majikan.
Suara lantang Mbok Darmi, kini tersisa tatapan mata sendunya yang mulai berkaca-kaca. Bersama dengan itu, Theresa mulai menipiskan jarak di antara mereka, memegangi kedua lengan wanita tua di depannya.
Embusan napas hangat terasa di kulit Mbok Darmi, lalu Theresa melakukannya sekali lagi, memohon kesediaan pelayan setia itu, "Mbok Darmi, tolong saya. Sekali ini saja. Saya tidak akan melemparkan Mbok Dar ke dalam masalah besar, jadi percayalah kalau ini semua demi kebaikan anak saya."
Melepaskan tangannya di lengan Mbok Darmi, Theresa dengan cepat menyodorkan nampan berisi makanan itu kembali ke tangan pelayannya. Mereka lantas berjalan beriringan menuju ke lantai dua, bersama sejumlah perasaan yang bercampur aduk.
"Kamu masuk, Mbok Dar. Bilangin aja ini makanan dari Mas Torra," ujar Theresa dengan gaya memerintahnya.
Menoleh ke arah belakang, sungguh pelayan tua itu nyaris menumpahkan air matanya. Jika waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya ia berpihak pada menantu cantik di keluarga Mahardika, yang diyakininya tak memiliki kesalahan apa-apa atas hubungan Torra dan Laura. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur untuknya, "Ba..baik, Bu."
"Bagus! Cepat masuk sekarang! Awas sampai Mbok Darmi ngomong jujur ke dia. Nasib anak bungsu Simbok yang masih kuliah itu bakal jadi taruhannya!" Jadi demikianlah adanya kini. Theresa seperti seorang ratu dalam permainan catur yang melindungi sang raja, dan Mbok Darmi ia posisikan sebagai pion kecil yang mempermanis keadaan.
"Permisi, Non. Ini Mbok Dar," tegur Mbok Darmi, membuat Inna merubah posisi duduknya.
Pintu kamar yang sengaja ditutup dengan cepat oleh Mbok Darmi, sempat membuat Inna merasa ada yang tidak beres, namun wanita hamil itu berusaha untuk menepikannya, "Eh, ada Mbok Darmi. Bawa apa itu, Mbok?"
"Ini, Non. Anu." Yang Inna lakukan malah sebaliknya, lalu sukses membuat Mbok Darmi menjadi terbata seketika.
"Anu? Anu apa toh, Mbok?" Kalimat Mbok Darmi membuat Inna bertanya sekaigus mengerutkan kening datarnya.
Meletakan nampan, berdiri sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Mbok Darmi meluruskan ucapannya. Inginnya ia mengatakan kebenaran tersebut tanpa ragu, namun yang keluar dari pita suara adalah sebaliknya, "Maaf, Non. Sim..bok... Egh, Simbok cum..ma disuruh anterin makanan sama Mas Torra, Non."
Semua karena putra bungsunya belum memiliki masa depan yang cerah dan betapa berdosa dirimu wanita tua, ketika Inna Bastari dengan antusias menyambutnya, "Beneran itu Mas yang beliin? Wah, makasih banyak, Mbok. Aku makan sekarang deh."
Deg deg deg deg deg
Benar saja. Tak sampai lima detik berlalu, degupan jantung Mbok Darmi sudah melaju kencang tak ubahnya langkah seseorang di atas sebuah treadmill, karena Inna beringsut duduk dari posisi tidur dan membuka kedua telapak tangannya, "Bawa sini nampannya, Mbok. Sekalian tolong aku isi gelas air putihnya ya, Mbok?"
"Bendungan air matanya jebol diikuti dengan tangannya yang bergetar mengambil gelas air, menciptakan keterkejutan dalam diri Inna di sana, "Astaga! Kenapa menangis, Mbok Dar?"
Tentu saja Mbok Darmi menjadi kelabakan dengan tingkahnya yang memang tidak biasa itu. Ia tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan tersebut. Air matanya pun semakin deras mengalir, "Astaga, Non! Jangan turun dari tempat tidur!"
"Ya makanya Simbok ngomong dong kenapa tiba-tiba nangis gitu! Aku kan takut, Mbok!" Bahkan air mata Inna pun ikut mengalir karenanya.
Secepat kilat Mbok Darmi meraih nampan makanan yang ada di tangan Inna, meletakannya di atas meja nakas di samping tempat tidur, sebelum memeluk wanita hamil itu seerat mungkin, namun masih disertai dengan air matanya.
Hal tersebut bagi Inna justru semakin menambah rasa penasarannya, bahkan lebih buruk ketika suara menggelegar Theresa menggema dari balik pintu kamar yang kini terbuka lebar, "Mbok Darmi! Apa-apaan ini, hah?!"
"Maaf, Bu. Saya--"
"--Kembali ke dapur, Mbok! Masih banyak kerjaan lainnya yang harus Simbok kerjakan daripada berpeluk-pelukan seperti anak kecil di sini!" potong Theresa, mencegah Mbok Darmi semakin banyak berkata.
Pelayan tua itu pun menuruti apa yang Theresa katakan, bergegas bangkit untuk mengambil nampan dari meja nakas. Sayangnya hal tersebut urung ia lakukan, karena Inna mencegah pergerakan tangannya, "Biarin aja nasinya, Mbok. Nanti Mas Torra marah lagi kalau aku nggak makan. Udah dibeliin gitu."
"Udah biarin aja, Mbok! Kamu tadi disuruh anakku ke sini ngapain, sih?" Theresa yang berbicara, semakin memperkeruh suasana di dalam sana.
"Anu, Bu. Saya--"
"Udah cukup! Sana keluar, Mbok!"
"Tapi, Bu--"
"--Saya bilang keluar, Mbok Dar! Tinggalkan kami berdua di sini!" Membuat keadaan semakin runyam.
Selepas suara pintu yang sudah tertutup tersebut masuk ke telinga Theresa, maka saat itulah ia segera menyerahkan amplop coklat yang sejak tadi ada di dalam saku celana kulot berkantong cukup besar miliknya.
Sejumlah ancaman ada di balik sindiran demi sindiran yang Theresa keluarkan untuk Inna, "Bukalah. Laura Wijaya Kusuma ada di bawah, di ruang tamu sedang berbicara tentang masa depan Mas bersama beberapa orang dari pengurus partai. Saat kau melihat isi dari amplop ini, tolong pikirkan baik-baik tentang hubungan dengan putraku, karena yang sejak dulu kuketahui, Mas itu nggak akan pernah bisa meninggalkan Laura sedikit pun!"
Deg
"Saya--"
"--Jangan lupa makanannya di makan. Jaga bayimu baik-baik. Bawa dia pergi jauh setelah kau melahirkan nanti, karena hanya itulah cara satu-satunya untuk membahagiakan anakku!" Bahkan aroma permusuhan itu kian jelas terpancar, saat Theresa secara terang-terangan meminta Inna meninggalkan putranya.
***
HALO, TEMAN-TEMAN. JANGAN LUPA FOLLOW AKUN TEMENKU MemeyMecxa2 YA? BACA CERITA KEREN DIA YANG BIKIN NAGIH DENGAN JUDUL MY MAID DI SANA. MAKASIH...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...