Sepuluh hari terlewati begitu saja tanpa terasa. Torra dan kesedihannya yang kian berlipat ganda di tengah urusan partai, nyatanya tak kunjung selesai. Di mulai dari Halal Bihalal sederhana, Rapat Akbar untuk menentukan kader terbaik di tiap Kabupaten dan kota, hingga visi misi yang harus terus disamakan ketika memang dirinya terpilih untuk duduk berdampingan dengan bakal calon kepala daerah di Kabupaten Kupang.
Tak ada celah yang bisa Torra gunakan untuk bertemu dengan Indri, bertanya, mencari jawaban atas ketidakpastian besar di isi kepala serta memutuskan jalan terbaik untuk dapat kembali bersama sesuai keinginan terbesar diri, karena ternyata nomor handphone ibu mertuanya itu pun tidak bisa dihubungi.
Torra sangat kesal dan sering kali berteriak saat sudah pulang ke rumah kedua orang tuanya, terlebih ketika pandangan matanya jatuh pada bingkai besar yang berada tepat di atas kepala tempat tidur. Senyuman manis Inna yang duduk tepat di sebelahnya dengan menggunakan kebaya putih sederhana itulah penyebabnya, melukai bahkan nyaris seperti seekor lintah, mengisap darahnya sebelum pelan-pelan mati tak berdaya.
"Arghhh...! Sialannn...!" Kalau sudah begitu, yang menjadi sang penolong tentu saja Thomas Mahardika, ayah kandung Torra tentunya.
Thomas masuk ke kamar Torra yang pintunya memang tidak tertutup dan mengatakan kalimat dalam bentuk sindirian, "Papa mau tidur, Mas. Papa ini jantungnya nggak normal lagi makanya dipasangin ring. Kamu mau Papa mati duluan pas tidur nanti apa gimana?"
Torra yang terkejut pun menyapu telapak tangannya di dada, "Maaf, Pa. Torra nggak sengaja."
Membuat sejumlah obrolan pun terjadi di antara ayah dan anak tersebut, "Makanya cepat selesaikan pekerjaanmu, biar bisa ketemu sama Inna lagi."
"Torra sudah usahain, Pa. Tapi udah seminggu lebih gini bawaannya ribet aja terus. Belum lagi kerjaan di lokasi. Duh, makin mumet efek kondisi jalannya yang terjal gitu. Jalan negara jadi kalau sudah agak sore baru bisa ngebut kerja. Ramai lancar kalau pagi sampai siang. Macet malah efek cuma satu ruas aja yang dibuka."
"Udah sampai mana, sih, memangnya?"
"Aspal mix, Pa."
"Tinggal dikit lagi dong itu."
"Iya, Pa. Tapi aku udah nggak bisa sabar rasanya. Pusing!"
Banyak hal yang keduanya bicarakan di sana tentang pekerjaan Torra, hubungan rumah tangga dan berujung dengan nasihat-nasihat Thomas untuk sang putra, "Hidup itu nggak ada yang enak, Mas. Segala sesuatu ada akibat baik dan juga buruknya. Sudah bukan remaja lagi ya kan? Sudah jadi ayah juga, maka--"
"--Torra keluar sebentar, Pa. Kalau Mama pulang dan nanya, bilang aja ada urusan bentar." Namun harus sedikit terhenti, ketika Thomas menyinggung status Torra yang sudah pernah menjadi seorang ayah.
Torra yang seketika teringat akan makam putrinya, berniat untuk menyambanginya meskipun hari sudah menjadi gelap dan Thomas salah kaprah akan hal tersebut, "Mau tidur di hotel lagi? Kenapa harus menghindar terus dari Mamamu? Kebiasan. Gimana mau baikan sama Inna kalau kayak begini? Kamu nggak bisa memaksakan kehendakmu terus, Mas. Hubungan suami istri itu harus selalu dipupuk dengan komunikasi yang baik. Kamu tanya apa maunya Inna juga, bukan cuma aturannya kamu aja yang harus dijalankan."
"Nanti ya, Pa? Torra buru-buru." Tetapi Torra tidak mempermasalahkannya, namun barisan kata-kata Thomas berhasil masuk, menembus ke dalam relung hatinya.
Selama ini Torra memang tak pernah bertukar isi hati ataupun masalah tentang pekerjaan pada Inna. Yang Torra lakukan adalah berusaha memenuhi kebutuhan Inna, bahkan kadang kala di saat istrinya itu tidak membutuhkan, tak segan ia menghadiahkan barang-barang bermerek untuknya, padahal bukan demikian seharusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...