PART 60

1.4K 219 48
                                    

"Oughhh... Masss..." Desah Inna setelah kejantanan Torra menembus masuk melewati mulut kewanitaannya yang sudah licin. Berhubungan intim seperti beberapa bulan lalu ternyata memang benar terjadi, tak bisa ditolak ketika sudah berada di ujung tanduk.

"Enak , Yang?" Torra pun sebenarnya serupa seperti Inna, tetapi ia berusaha untuk diam sejenak tanpa bergerak, meredam birahi yang nyaris meledak dari dalam dirinya.

Satu anggukan kepala Inna berikan sebagai bukti di sela bibirnya yang ia gigit sendiri, menahan kesesakan dari arah bawah, dan saat itulah Torra berusaha untuk mulai bergerak dengan memutar sembari menyentuh tonjolan di perut.

"Masss..." Reaksi pun terjadi begitu cepat tanpa menunggu, menghadirkan senyuman penuh damba milik Torra yang manis melebihi madu dan juga gula di mata Inna.

"Apaa, Sayang? Suka nggak?" Dan terkutuklah Torra ketika ia harus berpura-pura seperti seorang bocah.

"Peluk aku, Masss... Oughhh..." Membuat gejolak dalam diri Inna meningkat tajam.

Torra pun merunduk, menangkap ujung dada yang sudah Inna busungkan ke atas, dan ia nyaris meledakkan dirinya di dalam sana, "Ughhh... Innaaa... Mau keluar, Sayanggg... Mau keluarrr... Oh oh oughhh...!"

Beruntung Torra masih sempat mengingat apa yang dokter Padma katakan tentang aturan bersetubuh untuk wanita hamil di trimester kedua, sehingga cairan cinta miliknya itu kini tercecer tepat di atas perut Inna.

"Masss... Kok cepat banget, sih?" Sayangnya bukan kelegaan yang kini harus didapatkan oleh Torra setelah ia berhasil mendapatkan pelepasannya, melainkan gerutuan Inna dengan wajah masamnya.

Kikuk dan tak tahu harus menjawab apa, Torra hanya bisa tersenyum kecut sembari mengambil handuk yang sempat ia bawa dari kamar atas, lalu membersihkan lelehan lendir miliknya tadi.

Hal itu menciptakan ketidaksukaan Inna menjadi semakin besar, bahkan amarah pun meletus tanda menunggu bisa menunggu, "Kan aku belum keluar, Mas! Kok kamu curang gitu? Terus aku suruh ngapain habis ini? Tidur karena besok kamu sibuk mau pelantikan ya kan? Egoisnya masih aja ada!"

Sadar akan kebodohannya yang tidak bisa menahan ledakan gairah lebih lama lagi, di luar dugaan Torra pun secepat kilat berlutut dan menarik kedua kaki mulus Inna untuk mendekat ke arah wajahnya, "Oughhh...!" Membungkam segala sumpah serapah dengan cara klasik, seperti biasannya.

Ya, Inna mendapatkan apa yang ia inginkan sedari awal, pada akhirnya. Torra tak ingin terus-terusan dihujani kata-kata egois seperti itu, terlebih dalam hal saling melayani.

Lidah basah pun bergerak seirama dengan jari-jemari yang begitu terampil menyentuh bagian tubuh telanjang Inna dalam jangkauan tangan, sungguh membuat wanitu itu seakan buta dan lupa di waktu bersamaan.

Daging sebesar biji kacang yang terus dilumat Torra, menciptakan gemuruh dan juga mengerucutkan dunia menjadi ke satu titik saja, "Lagi, Masss... Oh, mau keluar! Ya, Masss... Mau pipisss...!"

"Keluarin, Sayang! Ayo kelu-- Oughhh...! Slruppp...!" Lalu seperti yang sudah-sudah, Torra dengan mahir menyeruput cairan cinta milik istrinya itu hingga habis, menikmati hasil dari usaha sekaligus ikatan rasa di antara mereka.

***

Keadaan ternyata tidak terlalu mengkhawatirkan pasca keduanya saling melayani tadi malam. Saat matahari tengah menjalar di ufuk timur, Inna lebih dulu terbangun dan membelai wajah tampan Torra yang ditumbuhi kini ditumbuhi bulu-bulu halus, membuat pria itu tersadar lalu terbangun akibat jadwal pelantikan dirinya.

Inna pun melakukan hal serupa dengan sibuk bergerak ala kadarnya mencari abaya baru berukuran XXL miliknya, tetapi aksi itu harus terhenti, akibat suara Torra yang terdengar dari balik punggungnya, "Lho, Yang? Kok malah turun dari tempat tidur, sih? Mas kan sudah bilang kalau dokter Padma nanti mau ke sini lihat keadaan si dedek. Itu ngapain?"

"Mau ikut ke acaranya mas dong. Apalagi?" Menjawab sesuka hati, Inna hanya menoleh sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya lagi.

Hembusan napas kasar pun terdengar dari lubang hidung Torra, dan dengan berbekal doa kuar dari dalam hati, ia mencoba menghentikan kegiatan Inna dengan sejumlah sindirian, "Kan kemarin malam kita udah sepakat, Yang. Kok sekarang malah dilanggar, sih, janjinya? Curang ih."

Berhasil. Ya, Torra memang sukses membuat Inna tidak lagi menyibukkan dirinya di depan gantungan baju, tapi ternyata itu terjadi akibat abaya yang dicari telah diketemukan. Ia melangkah ke arah tempat tidur dengan membawa pakaian berwarna putih gading dan melemparnya di atas kasur, lalu masuk ke dalam kamar mandi tanpa memedulikan tatapan geram milik sang suami.

"Aku bilang kamu nggak usah ikut, Inna! Kamar mandi licin begitu kamu nyelonong gitu aja nggak naik ke kursi roda gimana, sih? Aku ini suamimu atau apa kok malah dicuekin?" Tak urung, pecahlah amarah Torra di pagi itu, menciptakan keterkejutan Inna untuk Inna juga, karena kini tubuhnya sudah kembali melayang dan berada di gendongan.

Secepat Torra mengejar Inna untuk mengatasi khawatirannya, sesingkat itu pula tubuh Inna kini sudah berada di atas tempat tidur kembali.

Wajah yang ditekuk dan kini bersimbah air mata adalah bentuk dari kekesalan Inna untuk Torra, "Ya udah. Kalau gitu aku juga hari ini nggak usah pergi aja. Biar kita sama-sama di kamar, supaya aman karena dalam hidupku nggak ada lagi hal paling penting kecuali kamu dan bayi-bayi kita. Adil kan?"

"Hiks... Mas Torra jahatttt...!" Namun, Inna tetaplah Inna yang memiliki masalah pada hatinya, ketika Torra bersikap seperti itu padanya. Mengalah, membiarkan dan juga rela berkorban.

Tahu bahwa dirinya sedang membahayakan batin Inna yang sedang memikul kedua calon bayinya, Torra akhirnya menyerah dengan merengkuh tubuh besar sang istri. Ia lalu membisikkan mantra sakti mandraguna miliknya di sana, "Aku sangat mencintaimu, Inna Bastari. Teramat sangat mencintaimu kemarin, hari ini, besok, nanti dan selamanya. Sampai kita tua, Sayang. Yakin pasti, apapun dan bagaimanapun."

"Masss... Hiksss..." Dan apalah daya seorang Inna Bastari, ketika pada kenyataannya ia harus memikul kekalahan telak, hasil dari opera sabun ciptaannya sendiri.

Torra bahkan hanya memerlukan waktu dua puluh menit untuk membuat wanita kesayangannya itu kembali terlelap, tertidur pulas dalam pelukan hangat dengan jutaan rasa yang kini semakin menggunung ke satu tujuan saja.

Bergegas daripada harus membiarkan Inna kembali merenggek dengan hormon kehamilannya yang sering berubah-ubah, "Titip ya, Bu? Sebentar aja. Saya nggak akan lama kok."

"Titip opo tho, Nak Torra? Wong Inna iku anakku kok yo pakek acara titip-titip segala, sih? Yo wes sana jalan. Selak bangun lagi dia." Torra pun berpamitan pada ibu mertuanya dan mendapatkan sedikit hiburan, guyonan khas dengan dialek Jawanya.

Mobil pun melaju pasti menuju ke arah jalan negara setelah sempat menurun dan sedikit berbelok, membawa Torra kian menjauh dari Inna, tetapi tidak dengan hatinya yang tetap berada di sana. Tertinggal, terkubur bahkan mengakar kuat, menembus hingga ke lapisan paling akhir.

***

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang