Menginjakkan kakinya kembali di ibu kota, sungguh kali ini bukan satu kesenangan untuk hati terdalam Torra Mahardika. Ada kegelisahan yang kian hebat dari dalam dirinya, terutama ketika suara Indri Bastari terus saja berputar bagai potongan-potongan slide film. Kendati begitu, tak ada kata mundur atapun berhenti berjuang untuknya, terlebih saat bayangan jasad bayinya yang terkubur tanah merah juga ikut hadir di isi kepalanya.
Titik air di sudut pelupuk matanya yang segera disapu oleh punggung tangan adalah bagian terberat dan sukar terlupakan, menempatkan Torra pada bagian terpuruk sepanjang tiga puluh dua tahun berpijak di bumi.
"Ini kita mau ke mana ya, Pak? Sudah sampai di Pancoran Mas nih," tegur sopir taksi online yang membawanya dari Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng.
Masih sibuk menetralisir kesedihan yang sempat mempuni, satu embusan napas kasar terdengar diikuti menurunkan ketegangan dari pundaknya. Suara berat itu akhirnya keluar juga dari pita suara Torra, memberi petunjuk tentang di mana alamat rumah Inna, "Di Depok Jaya, Pak. Ke depan lagi sedikit kan?"
"Ini udah di Depok Jaya kali, Pak. Udah lama nggak ke sini apa bagaimana? Bisa minta alamat jelasnya nggak? Atau coba Bapak telepon orangnya dulu deh. Biar lebih gampang gitu."
"Egh?" Namun ia terdengar seperti orang bodoh atas balasan sopir tersebut, akibat gagal fokus yang melandanya.
Ya, sopir taksi online itu bukan tak tahu arah ketika sedari awal Torra sudah menyebutkan Depok Jaya sebagai arah tujuannya datang ke ibu kota. Mereka bahkan sudah sampai di tengah kawasan kelurahan tersebut, tapi terpaksa berhenti akibat Torra yang tak kunjung bersuara.
Mengulang kembali sembari tetap bersikap manis walau mulai terasa menyebalkan, sang sopir pun menjelaskan maksudnya secara lebih detail. Ia juga berusaha untuk menawarkan jasa lainnya untuk Torra agar lebih mempermudah keadaan, "Iya, Bapak. Alamatnya deket mana soalnya kalau ke depan lagi mah Kelurahan Depok Jayanya udah kelewatan dong. Ada nomor hapenya nggak, Pak? Sini biar saya bantu telepon deh. Gimana?"
"Di jalan Nusantara Raya, Pak. Deket SD Negeri 1 itu tuh maksud saya. Nggak usah telepon segala, Pak. Saya tahu kok jalanannya." Tapi ditolak mentah-mentah oleh Torra, ketika nyatanya ponsel istrinya memang tak berada digenggaman tuannya.
Hem... Itu memang sebuah kenyataan. Masuk ke rumah sakit dengan keadaan panik, Inna melupakan ponselnya di atas tempat tidur mereka. Jadi sepanjang itu pula Torra tidak bisa membangun komunikasi baik dengan Inna. Menghubungi nomor ponsel Indri, sudah jelas merupakan satu kesalahan besar untuknya. Sebab kemarahan mungkin akan kian melebar, akibat dari kegagalannya sebagai seorang kepala rumah tangga.
Kembali bergerak ke tengah jalanan padat beraspal, tak ada bunyi apapun lagi dari sopir tersebut. Pria tua itu mencoba untuk menyabarkan dirinya atas sikap Torra yang menurutnya kurang bersahabat, karena memang pelanggan adalah raja baginya.
Dua puluh menit melaju menuju ke jalan Nusantara Raya, Torra pun meminta taksi untuk berhenti tepat di depan SDN 1 Depok Jaya, menimbulkan tanya namun hanya dari dalam hati si bapak sopir.
Percakapan kecil terjadi di antara keduanya, tentang jumlah uang yang harus dibayar Torra sebagai ongkos taksi, "Berapa, Pak?"
"Dua ratus lima puluh ribu, Pak." Menatap ke arah argo yang tertera di depannya, suara sopir taksi pun terdengar lugas membacakannya.
"Ini, Pak. Ambil aja kembaliannya." Tiga lembar uang berwarna merah pecahan seratus ribuan pun diberikan Torra padanya, tak berharap pada sisanya lagi.
Sedikit merasa tak enak hati, selembar pecahan biru pun menyusul dengan cepat dari arah sopir taksi, "Eh! Jangan, Pak. Saya ada ini kembaliannya lima puluh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...