Satu minggu telah berlalu dengan keadaan sudah saatnya Inna Bastari akan kembali ke rumah. Sepanjang sisa hari menuju ke satu minggu itu, Torra Mahardika pun selalu bersama sang istri, membuat Aldi Wiryawan menjadi uring-uringan.
Dokter kandungan itu tak suka dengan pemandangan pagi yang ia dapatkan ketika visite ke ruangan rawat inap Inna, maka di hari terakhir ini, kesinisan pun keluar tanpa bisa ditahannya lagi, "Selamat pagi, Ibu Inna. Tidurnya nyenyak sekali sampai matahari sudah meninggi pun masih berpelukan. Ibu nggak lupa dengan masa bedrest yang saya katakan kemarin-kemarin 'kan? Kasihan sama bayinya, Bu."
Terkejut, membuka paksa mata sembari beringsut menyingkirkan lengan kokoh Torra di tubuhnya, merupakan hal yang Inna lakukan di depan mata Aldi. Tak ada jawaban apa-apa dari pita suara Inna, bahkan hingga seorang perawat datang membawa tensimeter, pun Inna dan Aldi hanya saling diam tanpa berkomunikasi.
Alhasil, perawat itulah yang memulai percakapan," Permisi, Ibu. Bisa tolong bangunkan suaminya dulu? Dokter Aldi mau cek keadaan adik bayinya ini."
"Egh? Iya, Sus. Mas... Mas, bangun dulu." Tanpa menunggu lagi, Inna segera membangunkan Torra. Ia mengguncang-guncang tubuh suaminya yang bertelanjang dada itu, menghasilkan pergerakan alamiah layaknya seseorang baru yang baru bangun tidur.
Torra juga bergumam kecil, enggan bergeser karena rasa kantuk itu ia dapatkan beberapa jam lalu, "Emmm... Mas masih ngantuk nih. Mau nambah lagi? Nanti aja ya, Sayang..."
Hanya saja kalimat yang terdengar dari bibir Torra begitu ambigu dan kini isi kepala Aldi menjadi semakin terlilit oleh sejumlah benang tak kasat mata, yang hanya dapat ia dengar sendiri, "Nambah lagi? Brengsek kau, In! Apa yang kalian perbuat tadi malam, hah?!"
Tak jauh berbeda dengan Aldi, kedua pipi Inna juga memerah akibat perkataan Torra. Nasi goreng yang menjadi objek utama Torra, kini benar-benar menimbulkan masalah untuk hubungan mereka, saat tatapan mata Aldi dan Inna tidak sengaja bertemu. "Ada dokter, Mas. Mau periksa si dedek."
Ada desiran tajam yang terasa melesat langsung dari busurnya, menembus ke tulang dan merusak jantung Inna dari tatapan Aldi, namun waktu masih menyelamatkannya.
Seperti terkena tumpahan es batu dari sebuah wadah besar, dengan cepat Torra membuka kedua kelopak matanya, "Heh? Em, iya-iya. Lupa aku."
Torra lantas mengucak mata, menatap sekilas ke arah Aldi, hingga memilih untuk beranjak menuju ke kamar mandi di sudut ruangan, "Permisi, Bapak. Kami pinjam ibunya dulu ya? Adik bayinya mau diperiksa sama dokter."
"Ah, iya. Lanjut, Sus. Saya ke kamar mandi sebentar."
"Iya, Pak. Mari, Dok." Suster yang mendapat jawaban dari Torra, kini membuka jalan agar Aldi dapat mendekat ke brankar besi.
"Jadi semalam berapa ronde? Masih betah nginap di sini ya?" Lalu ketika sampai di dekat Inna, bisikan cemburu itu keluar begitu saja.
Inna tertegun bersama bola matanya yang mengecil, sebelum ikut melakukan hal serupa, "Kak, please. Jangan mulai lagi, ada dia."
"Kamu yang jangan memulainya, Inna! Jangan pernah atau aku akan membocorkannya!"
"Kakak, cukup! Cepat periksa!"
"Ini hari terakhir kamu di sini. Aku nggak peduli dia bakalan tahu atau enggak tentang hubungan kita, tapi yang pasti kamu harus sendirian dalam kamar ini nanti siang! Usir dia dari sini, bagaimana pun caranya. Ingat itu!" Bisik demi bisik terjadi di antara keduanya, lalu sampailah Inna pada sebuah keterkejutan hebat, ketika Aldi memberi ultimatum padanya.
Tak urung akibat dari keterkejutan tadi, meluap saat itu juga dari bibir ranum Inna. Ia mencoba untuk menolak kegilaan sang Obgyn di sana, "Apa? Kak, kamu--"
"Tolong gulung ke atas lengan bajunya ya, Bu? Biar nggak mengganggu tensimeternya. Biar saya aja yang periksa, Sus."
"Baik, Dok. Ini." Namun Aldi tak mau mengalah, bahkan membawa serta perawat yang berdiri di belakang punggungnya itu sebagai salah satu pemain dalam drama ciptaannya.
Aldi bergegas menerima alat pengukur tekanan darah dari tangan perawat bertubuh gempal itu, sembari tetap memasang wajah masam penuh tuntutan seperti yang beberapa hari ini ia tunjukkan. Jari-jarinya dengan terampil mengerjakan tugasnya sebagai seorang dokter.
Dengan stetoskop yang sudah terpasang di kedua lubang telinganya, tak sampai dua menit kemudian, Aldi pun mengetahui hasilnya. Ia menoleh ke arah belakang dan menyebutkan sejumlah kalimat yang berhasil membuat wajah Inna kembali memerah, "110 per 70, Sus. Tolong ingatkan ibu yang keras kepala ini untuk banyak beristirahat terutama di malam hari. Ceritakan juga apa saja resiko yang terjadi, ketika janin tidak bisa diselamatkan."
"Baik, Dok." Sedikit mengeluarkan kekehan, nyatanya perawat wanita itu pun ikut merasakan bagaimana kesalnya Aldi atas pemandangan pagi yang Inna dan Torra suguhkan beberapa saat lalu.
Tak mau ambil pusing dengan apa yang kedua wanita itu pikirkan tentangnya, Aldi memilih untuk secepatnya keluar dari ruangan rawat inap tersebut, namun berhenti di pintu kamar untuk mengingatkan keduanya, "Saya ke sebelah. Pasien sore baru pulang. Diastole*) punyanya masih rendah. Nanti siang cek tensi lagi kalau sudah naik baru pasien boleh dipulangkan."
"Siap, Dok." Tetapi Aldi masih saja melemparkan kalimat tersebut sebagai bagian dari drama, ketika hanya perawat bertubuh kempal itu saja yang ia sebutkan di sana.
Sementara itu dari dalam kamar mandi di ruangan rawat inap tersebut, bisik-bisik juga terjadi, akibat Torra yang menerima panggilan telepon dari Laura, "Jangan gila, Laura! Istriku sedang sakit!"
Ada sesuatu yang ingin Laura bicarakan tentang informasi penting mengenai pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Kupang, namun ia tak mau menyebutkannya secara langsung melalui sambungan telepon itu, "Oh, jadi perempuan sialan itu lebih penting untukmu sekarang?"
Alhasil yang terjadi di antara keduanya hanyalah bisikan keras yang terus saja meninggi, "Namanya Inna Bastari, Laura! Jangan sebut dia perempuan sialan lagi!"
"Heh, benar-benar menarik. Mantra apa yang sudah masuk ke dalam tubuhmu lagi, Torra Mahardika? Kamu lupa dengan malam panas kita tempo hari? Oh, bahagianya. Kamu bahkan nggak pakai kondom dan aku pun sama. Aku nggak lagi ngepil atau nyuntik."
"Jangan mengancamku, Ra! Aku nggak mood untuk bertengkar denganmu pagi ini!"
"Maka cepatlah datang ke sini sekarang juga, atau aku akan membongkar semuanya ke dia!"
"La, aku--"
"Aku beri kamu waktu dua jam, Torra! Jangan membuatku marah dan menghancurkan semua lagi seperti dulu!"
Klik
"Arghhh...! Laura, sialan!" Lalu berhasil membuat Torra meledak-ledak, setelah Laura mengeluarkan senjata utamanya.
Tok tok tok
Beruntung suara ketukan pintu secepatnya terdengar, ketika Torra sedang mengangkat tangannya ke atas, "Permisi, Pak. Saya mau ambil air untuk bersihkan badannya ibu ini. Masih lama ya kira-kira?"
"Su..sudah selesai, Dok-- eh, Sus. Tunggu-tunggu." Rencana Torra melemparkan ponselnya ke dinding toilet pun tidak terjadi di sana, berganti dengan menaikan dan menautkan kembali kancing celana jinsnya.
Tak ada pilihan lain bagi Torra untuk saat ini, tetapi ia berjanji tak akan melakukan kebodohan yang sama di waktu berikutnya, ketika berbicara tentang Laura dan juga wanita lainnya lagi nanti.
***
HALO, TEMAN-TEMAN. TOLONG FOLLOW AKUN TEMANKU YANG NAMANYA MemeyMecxa2 YA, SAY. AKUN LAMANYA HILANG. DI SANA ADA CERITANYA YANG PANAS HAREDANG BERGANDA UGHHH... POKOKNYA MAH. JANGAN LUPA YA? TERIMA KASIH BANYAKKK...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...