Air matanya jatuh berderai, ketika melihat seonggok tanah yang sudah ditutupi menjadi cantik. Tempat peristirahatan terakhir. Kecil, tetapi memiliki arti hingga tak bisa menghilangkan kesedihan.
Apalah daya jika takdir tidak menghendaki. Sejauh usaha telah dilakukan, kedua anak cucu Adam itu tidak akan pernah bisa melawan kehendak Yang Maha Kuasa.
Kendati pun amarah masih tersisa, akan sangat sia-sia jika perasaan tersebut terus tersimpan di dalam diri, karena kehilangan tetap menjadi pil pahit yang harus dicerna. Sekali lagi, manusia memang tempatnya salah dan lupa. Tidak bisa dipungkiri, terlebih saat sang kuasa turut berkendak.
Torra berjuang di tengah suara tersendat Inna yang membacakan doa-doa, walaupun ia ikut berseru dengan melihat tulisan dari alfabetnya saja. Akan belajar, tapi tekad itu masih berupa penyemangat dan berharap istri kesayangan rela mengajari.
Lima belas menit berlalu, suasana haru biru berangsur sirna, berubah meski masih belum ada sepatah kata pun dari bibir Inna. Torra sabar menunggu, berupaya dengan tetap berada sedekat mungkin.
Lebih dulu melemparkan bahasa manis, cepat berikan semangat itu pada Torra agar ia terus berjuang, "Minum dulu yuk."
"Aku nggak haus, Mas."
"Sayang, nggak boleh gitu. Nanti dehidrasi lho. Aku udah bukain tutup botolnya nih. Ayo dong."
"Ya sudah. Sini botolnya." Dan terima kasih banyak Torra ucapakan untuk kalian yang sudah memberi dukungan, karena ia berhasil menarik perhatian Inna, walaupun air mineral tersebut hanya masuk satu teguk saja.
Menerima botol air mineral kemudian menutupnya, Torra lantas berupaya untuk secepatnya membangun komunikasi lagi, "Masih mau di sini, Yang? Em, Mas nanti malam ada acara di Kupang. Sayang mau ikut nggak? Kita nginep di hotel aja biar besok sebelum pulang, kita main-main ke Tablolong gitu. Atau mau ke Baun aja makan Se'i sapi? Sayang udah lama nggak kan nggak makan daging Se'i?"
Torra berharap Inna benar-benar berhenti menangis dan kembali ceria, tapi wanita masih saja sama, dingin bahkan menggeleng dan membuatnya tak tahu harus berbuat apa.
Sepuluh menit ikut terdiam, menunggu tanggapan Inna sembari menepuk nyamuk yang singgah di lengannya, Torra boleh bernapas lega saat sang istri berdiri dari depan makam putrinya.
Akan tetapi semua itu ternyata hanya terjadi selama dua puluh detik, "Mas, bolehnya aku balik lagi ke Depok? Kasihan ibu sendirian di sana. Atau kita pindah ke sana aja. Biar aku bisa sekalian kuliah juga. Kamu kemarin janjinya gitu kan sama aku, Mas?"
"Hah? Kok gitu, Yang? Aku kan dipilih sama partai untuk ikut mendampingi pak ketua. Kan kita udah bahas ini tiga hari lalu. Gimana dong? Aku minta maaf atas kesalahan Mama ya, Sayang?" Sebab di detik ke dua puluh satu, Inna berhasil memberi Torra kejutan yang sangat menggemparkan. Hal tersebut tidak pernah ia kehendaki sebelumnya, bahkan ketika mereka membahasnya, kekalahan pun selalu dihindarinya.
Diam hingga nyaris satu menit lamanya, Inna pun kembali bersuara, membanjiri Torra dengan pikiran serta kekhawatirannya, "Bukan itu, Mas. Tapi lihat makamnya Adek gini, aku jadi ingat Bapak sama Mas Indra. Sisa yang aku punya siapa coba jawab? Cuma ibu doang kan? Gimana kalau ada apa-apa? Aku pasti bakalan menyesal dan menyalahkan diriku sendiri, Mas. Tempatkan dirimu di posisi aku!"
Memang sebagai anak yang tersisa, ungkapkan Inna ada benarnya juga. Ia bukanlah si durhaka Malin Kundang, jadi Torra seharusnya lebih cepat bertindak dengan segala macam cara untuk mendapatkan jalan keluarnya.
Meraih kedua pundak Inna, satu tarikan napas kasar pun ikut masuk ke dalam telinga wanita cantik itu. Namun, seolah tak ingin mudah terkecoh dan benar-benar menyesal seperti apa yang dipikirkannya tadi, Inna mempertahankan pendirian itu dengan tidak menatap ke arah wajah Torra.
Mengerti atas sikap acuh yang sengaja dibuat-buat, Torra menyerah dan memberi penawaran demi kebaikan mereka bersama, "Besok aku cari rumah di BTN Kolhua dulu, baru kita ajak ibu pindah ke Kupang ya, Sayang? Ini adalah cara terbaik supaya pekerjaan aku juga nggak terganggu, jadi kuharap kamu mau menurut dan bantuin buat ngebujuk ibu."
"Mas itu egois!" Hanya saja kalimat yang Torra keluarkan nyaris serupa dengan serentetan ultimatum, sehingga jangan bertanya mengapa Inna kembali mengeluarkan air mata setelah tiga kata itu ia berikan.
Begitu terkejut bahkan ikut berkaca-kaca, Torra merasa dirinya sedang terkena bongkahan batu besar, luka dan berdarah-darah di sana. Ia mengisi banyak pasokan udara di dalam paru-parunya sembari mengeratkan cengkeraman tangan di lengan Inna, cepat berpikir agar Inna tak lagi merajuk.
Alhasil, karena menurut Inna suaminya itu lama berpikir, maka jangan salahkan jika ia pun memberanikan diri untuk menghempaskan telapak tangan besar Torra dari tubuhnya.
Lantas ketika kaki-kaki jenjang Inna mulai bergerak maju ketiga kalinya, barulah apa yang berkutat di isi kepala Torra sedari tadi tercecer keluar, mengesampingkan perasaan tidak enak hati daripada harus berperang dingin, "Aku egois apanya, sih, Yang? Kan kita di Kupang bukan tinggal sama mama di Oesao lagi. Lagian tadi kamu suruh aku tukar posisi, emang kita ini jatuhnya berbeda apa gimana, hm? Papaku juga udah nggak ada kan? Mamaku bakal sendirian kayak ibu kan? Walaupun dia nggak pulang dan lebih sering nginep nggak jelas entah itu di rumah saudara atau di tempat Laura, tapi kan tetap aja aku harus care sebagai anak toh? Jalan satu-satunya ya kita cari solusi bukan malah LDR-an, Sayang. Aku butuh kamu untuk selalu ada di sampingku! Please, ngertiin aku, Inna. Aku cinta sama kamu, aku juga sayang! Tolong..."
Tentu saja secara otomatis langkah keempat dari kaki Inna tak lagi terjadi, berubah diam mematung, tetapi tidak dengan air mata yang semakin deras mengalir.
Hari itu Torra akhirnya mengetahui jika Inna belum sepenuhnya menerima masa lalu dan juga takdir buruk yang menimpa mahligai rumah tangga mereka, maka satu pelukan erat pun coba ia berikan dari arah belakang.
"Kita akan memilikinya lagi, Sayang. Yang banyak asal kamu kuat aja deh pokoknya ya? Kalau cowok, nanti aku mau mukanya harus mirip kamu. Terus pas anak cewek lahir, biar mirip aku supaya selalu adem kayak kata papa dulu itu. Masih ingat kan?" Menyatakan bahwa Inna tidak sedang sendirian, sebab ada Torra yang untuk saat ini dan seterusnya akan berdiri di sisi kanan maupun kiri sebagai bagian dari perjalanan, dengan tujuan membawa biduk menjadi lebih baik lagi daripada sebelumnya.
Meskipun sukar, Torra tak ingin menyerah. Inna telah memberikan kesempatan kedua, jadi berpikiran buruk pun tak ingin ia perbuat, walau wanita itu kini melakukannya.
Ada harga yang harus dibayarnya untuk sebuah pengampunan, dengan menurunkan ego, memperbaiki sikap juga selalu membahagiakan sebisa mungkin. Dan pertanyaannya adalah, mampukah dilaksanakan tanpa cela? Hm, ini masih menjadi rahasia ilahi, kabur bahkan bayangnya pun belum terlihat sama sekali.
*****
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...