We Don't Talk Anymore

864 117 87
                                    

requested by honesteaa

Author's note:

POV orang ketiga || Non AU (semi-canon)|| O(O)C, Fanon || Bahasa baku & non baku || Romance, angst

[alur maju mundur, too much naration]

***













Doyoung terbangun saat jam baru menunjukan pukul 2 pagi. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa lapar. Manager hyung yang memang satu kamar dengannya masih terlelap di alam mimpi, jadi dia berjalan perlahan, mengendap-endap seperti maling.

Doyoung kemudian berjalan santai saat sudah berada di lorong apartment. Suasana begitu sepi, hanya terdengar suara beberapa kendaraan di luar sana.






"fu..hck..."

Doyoung mematung saat melewati kamar Taeyong, dia mendengar desisan seseorang di dalam sana. Apa itu Taeyong?

Saat kepalanya masih sibuk menerka-nerka apa dan siapa pemilik suara itu, tiba-tiba Taeyong membuka pintu kamarnya. Dia memegangi gumpalan tissue di tangannya. Taeyong terpaku melihat Doyoung yang membisu di depannya. Pintu kamar yang terbuka cukup lebar membuat Doyoung refleks mengintip ke belakang, melihat isi kamar Taeyong dari balik tubuhnya.

"Mwo?!" Doyoung membulatkan matanya, menatap leadernya tak percaya.

"YAK TAEYONG!" tambah Doyoung lagi sedikit berteriak. Ia bahkan tidak merasa perlu memanggil leadernya dengan embel-embel hyung. Taeyong langsung buru-buru membuang tissue itu ke belakang pintu, dia menyumpal mulut Doyoung cepat.

"Jangan berisik! yang lain lagi tidur" protes Taeyong cepat.

"Hyung! aku nggak salah liat kan?!" tanya Doyoung lagi sambil melepaskan tangan Taeyong dari mulutnya. Tidak peduli dengan peringatan Taeyong tadi.

"Kamu harus balikan hyung. Nggak sehat begitu tuh" kata Doyoung sambil menggerakan tangannya seolah melakukan sesuatu, lalu meninggalkan Taeyong yang termenung di depan pintu.

Taeyong menoleh ke belakang, melihat monitornya yang masih memampang foto teaser Ten untuk comeback bad alive. Kemudian ia menarik rambutnya frustasi. Harusnya dia segera mematikan komputernya tadi!

***

 






Taeyong termenung didepan monitornya setelah memastikan pintu terkunci dan Doyoung sudah kembali tidur. Dia menghela nafasnya berat, mengusap wajahnya sedikit frustasi. Ia kemudian kembali memainkan pc nya, membuka satu folder yang sudah di hide sebelumnya. Foto-fotonya bersama Ten saat dulu promosi BDS, termasuk foto-foto tidak lulus sensor untuk diunggah ke publik. Taeyong kini mengerti kenapa orang-orang senang menyimpan foto-foto ciuman atau cuddling mereka, ternyata fungsinya untuk ditangisi saat mereka sudah berpisah.

Berpisah tanpa ada kata perpisahan nyatanya justru lebih menyakitkan. Setiap hari Taeyong ketakutan kalau tiba-tiba Ten bilang "ayo kita berpisah". Hidupnya seolah sekarat tiap detik. Melihat Ten yang begitu acuh padanya kini juga begitu menyiksa. Membuatnya tidak berani untuk menyapa lebih dulu, takut dengan respon Ten nantinya. Ditambah lagi Ten akhir-akhir ini sungguh menguji kesabarannya. Meskipun foto-foto itu bisa jadi solusinya di saat-saat mendesak seperti tadi, Taeyong juga (sedikit) tidak terima kalau Ten mengumbar-umbar tubuhnya meski protes itu tak bisa ia suarakan.

Belum lagi kedekatan Ten dengan Winwin yang makin kentara. Awalnya Taeyong selalu berfikir positif, mungkin Ten dekat dengan Winwin karena Ten ingin Winwin merasa dibutuhkan semenjak ia sudah tidak lagi bersama 127, mengingat kekasihnya itu sangat peduli pada orang lain. Tapi lama-lama fikiran negatif selalu memenuhinya.

[end] Mellifluous (TAETEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang