Semangat membaca😊
Deva sudah berada didepan sebuah rumah sederhana berlantai dua, rumah yang sudah ia dan Bundanya tempati sekitar sepuluh tahun lalu. Rumah ini mungkin tidak sampai seperempat luas rumah Shelin, rumahnya dulu. Tapi setidaknya rumah ini adalah rumah yang penuh kebahagiaan tidak seperti rumah itu.
Tepat di depan gerbang rumahnya yang tidak terlalu tinggi Deva merasa heran, mengapa gerbang rumahnya terbuka? Bukannya bundanya sedang ada di toko hari ini. Tanpa pikir panjang ia pun melangkah menuju rumahnya dan pintunya juga tidak di kunci.
'Ah mungkin bunda sedang mengambil sesuatu.' pikirnya.
Tanpa ragu dia masuk sambil berkata
"Assalamualaikum bunda." ucapnya sedikit keras.Dania-Bunda Deva- keluar dari arah dapur sambil menatap Deva bingung.
"Waalaikumsalam, loh kok udah pulang? katanya mau main ke rumah temen, kok cepet banget mainnya bunda kira bakal pulang sore." heran Dania sambil memberikan tangannya kepada Deva untuk dicium.
"Oh em... itu temen aku tiba-tiba ngebatalin soalnya ada acara apa gitu, aku lupa." Deva menjawab asal, karena tadi dia tidak berfikir nundanya ada dirumah jadinya dia tidak mempersiapkan jawaban untuk menjawab pertanyaan bundanya.
"Kok bunda ada disini, bukannya lagi jagain toko ya?" Tanya Deva mengalihkan pembicaraan.
"Tadi bunda belanja bulanan, toko dijaga sama karyawan Bunda. Ini Bunda juga mau balik ke toko lagi." katanya dengan tenang.
"Oh, Bunda hati-hati di jalan ya."
"Iya sayang, kamu jangan lupa makan ya." Deva menganggukkan kepala.
Setelah kepergian Bundanya, Deva berjalan ke arah tangga tepatnya menuju kamarnya yang ada dilantai dua.
●●●
Deva sedang duduk mematut diri di depan meja rias yang ada di kamarnya. Dia baru saja selesai mandi, dengan rambut yang masih sedikit basah karena dikeramas. Entahlah Deva hanya merasa dia ingin menyegarkan diri, karena terlalu lelah hari ini dan juga banyak berfikir.
Deva menyisir rambutnya membiarkan rambutnya tergerai indah karena tidak ada Bunda yang bisa mengepang rambutnya kemudian memoles bedak bayi dengan rata pada wajahnya. Lalu menuju tempat tidur, Deva akan istirahat agar tidak terlalu banyak memikir kejadian hari ini, karena memikirkan rentetan kejadian hari ini membuat Deva pusing. Merebahkan diri dan memejamkan mata Deva mencoba tidur.
Dalam tidurnya, di antara sadar dan tidak. Deva bermimpi, mimpi yang sebenarnya kenyataan. Tapi seakan ada yang menimpa matanya, Deva tidak bisa membuka matanya walaupun berusaha membuka matanya.
"Ayah, Ayah. Ayah dimana?" Panggilnya keras, gadis kecil itu baru saja pulang dari sekolah tapi bukannya beristirahat ataupun makan dia malah mencari Ayahnya.
"Ara jangan teriak-teriak." peringat sang bunda.
Tapi seolah yang di katakan sang Bunda adalah angin lalu, gadis itu kemudian bersuara lagi membuat bundanya hanya geleng kepala. Kemudian menuntun teman putrinya ke sofa yang ada di dekatnya.
"Ayah dimana sih?" Bukannya mencari keberadaan sang Ayah gadis itu malah diam di tempat.
Tapi untungnya Ayah dari gadis itu segera keluar membuat gadis kecil itu tersenyum riang.
"Ayah liat aku bawa siapa?" Walaupun terlihat lelah sampai wajahnya terlihat agak lembab karena keringat tapi tak membuat gadis kecil itu lelah untuk mengoceh dengan riang.
"Memang siapa yang di bawa princessnya ayah?" Tanya sang ayah heran.
Kemudian saat ayahnya ada di hadapannya gadis kecil itu menggandeng tangan ayahnya menuju sofa tempat temannya berada.
"Liat Ara bawa Bara, temen Ara yang Ara ceritain itu loh. Bara kenalin ini Ayahnya Ara namanya Dewangga sama kayak namanya Ara, Devara." ucapnya sambil tersenym lebar.
Ayah gadis itu berfikir, mencoba mengingat kapan putrinya ini bercerita tentang temannya ini. Tak lama setelah mengingat itu ia pun angkat suara.
"Bara yang suka nakalin princessnya ayah?" Tanya ayah gadis itu sambil mengusap keringat di dahi putrinya.
"Iya tapi sekarang Bara gak nakal lagi kok sama Ara, tadi aja dia nolongin Ara." kata gadis itu membela temannya.
Tiba-tiba mimpi itu berubah, masih di tempat yang sama hanya dengan keadaan yang sangat berbeda.
"Dev, Ra, ini papa gue namanya Dewangga."
"Panggil saya om Dewa."
"Bisa kita mulai makan princess."
Deva terbangun dari tidur antara sadar dan tidak sadarnya ďengan nafas terengah, Deva menarik nafas dan menghembuskannya perlahan guna menenangkan diri dari mimpi yang sebenarnya kenyataan.
Deva memejamkan mata, Dia berfikir mungkin dia terlalu berfikir keras dengan sesuatu yang tak seharusnya dia pikirkan hingga membuatnya terbawa mimpi. Deva membuka mata, seketika air mata jatuh dari kedua matanya, dia tidak bersuara ataupun terisak.
'Kamu harus membalasnya Deva.'
'Tidak, kamu tidak boleh membalasnya.'
'Mengapa tidak, mereka yang memulai.'
'Jangan lakukan itu, kalau Bundamu tahu, dia pasti kecewa.'
'Lalu bagaimana dengan kamu dan bundamu, kalian menderita selama dua belas tahun.'
'Tapi tetap saja itu tidak baik.'
'Lalu, apa dengan menjadi orang baik kamu akan di akui sebagai anak lagi oleh ayahmu Deva.'
Deva menutup telinganya dengan tangan, dia tidak mau mendengar batinnya bertengkar lagi, dia sudah lelah dengan masa lalunya yang buruk.
Mengapa setelah belasan tahun Deva harus berhadapan dengan masa lalunya, orang-orang dari masa lalunya, tidak bisakah ia hidup dengan tenang bersama bundanya. Deva merasa kepalanya hampir pecah memikirkan ini.
Lalu bagaimana respon bundanya jika tahu Deva bertemu dengan orang-orang itu. Deva sangat ingat bagaimana kondisi Bundanya saat itu, suami dan temannya menghianatinya, apa yang lebih buruk dari pada itu?
Deva mungkin tidak di akui bahkan di katai anak haram oleh Ayahnya, tapi Deva lebih sedih saat bundanya, harapan satu-satunya bersedih kala itu. Jangankan untuk makan saat itu bahkan Bundanya seperti mayat hidup, seperti tidak menyadari kehidupan di sekitarnya.
Deva yang saat itu hanya anak kecil yang baru berusia lima tahun tidak tahu harus berbuat apa. Untunglah saat itu ada Rina dan Dion sahabat bundanya saat masa SMA dan juga adalah orang tua dari Aura. Rina dan Dion selalu ada untuk bundanya dan juga Deva. Oleh sebab itu keluarga Deva dan Aura sangat dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duka Devara
Teen FictionTentang Devara... Selama lima tahun hidupnya, dia mendapatkan semua kebahagiaan yang orang-orang inginkan. Orang tua yang lengkap, keluarga bahagia, dan dikelilingi oleh orang-orang yang tulus menyayanginya. Definisi kebahagian Tapi, dia sadar kalau...