21. Minggu Cerita

117 11 26
                                    

Semangat membaca😊

Kaki kecil itu terus berjalan mengikuti langkah sang ibu, yang entah akan membawanya kemana. Kaki kecilnya sudah merasa lelah dan pegal, tapi seakan mengerti keadaan sang bunda dia tetap diam tanpa mengeluh.

"Aduh" gadis kecil itu terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.

Ibu dari gadis kecil itu tersadar saat tangannya tertarik mendengar suara putrinya yang meringis kesatikan

"Kenapa bisa jatuh, nak?" Tanya ibu itu lembut.

"Ara capek bunda" jawab gadis kecil bernama Ara itu lirih sembari menatap lututnya yang terluka untuk menghindari tatapan mata bundanya.

Wanita itu melihat sekeliling, mencari tempat untuk istirahat sebentar.

"Kita duduk disana dulu ya" yang dijawab anggukan kepala dari anaknya. Mereka berjalan kearah kursi taman yang ada didekat sana.

"Bunda kita mau kemana?" Pada akhirnya dia tetaplah gadis kecil yang memiliki rasa ingin tahu yang besar.

"Bunda juga tidak tahu" katanya dengan senyum yang dipaksakan.

"Ara sayang, Ara lebih sayang bunda atau ayah?"

"Ara sayang bunda sama ayah, tapi Ara gak suka liat ayah buat bunda nangis" tanpa bisa ditahan lagi air mata wanita itupun merebas membasahi pipi mulusnya

"Kalau Ara disuruh milih, Ara pilih bunda atau ayah?" Tanyanya lagi sambil menahan isakan

"Ara pilih bunda. Soalnya ayah marahin bunda tadi, terus sekarang ayah kayaknya lebih sayang ke Elin dari pada Ara. Kalau bunda kan hanya punya Ara" jawab Ara polos

Wanita bernama Dania itu, menangis tersedu-sedu. Tak pernah terlintas dipikirannya, kalau putri kecilnya akan kehilangan kasih sayang seorang ayah. Wanita itu mendekap putrinya, mencari kekuatan dari tubuh mungil itu.

"Bunda jangan nangis, Ara janji gak akan jadi anak nakal. Ara bakal banggain bunda"

"Bunda tidak tahu bagaimana caranya menjadi sempurna, bunda hanya akan mencoba menjadi yang terbaik bagi Ara. Bunda juga tidak bisa menjadi sosok ayah dan ibu yang baik bagi Ara, tapi bunda akan berusaha. Bunda mungkin tidak akan selalu bisa mewujudkan keinginan Ara, tapi bunda akan mengusahakan keperluan Ara bisa terpenuhi. Karena bunda tidak punya materi seperti ayah yang bisa memanjakan Ara"

Deva, gadis itu mengingat kilasan ingatan dimasa lalu yang tidak mudah gadis itu lupakan. Berbagai deretan kilasan luka masih tersimpan bagus dalam ingatannya. Semakin hari, Deva merasa semakin dingatkan oleh masalalu, dimulai dari Shelin dan keluarganya dan sekarang munculnya si kembar bersama ayahnya.

"Dev..." panggil Bara saat mobil sudah berhenti diparkiran toko kue bundanya Deva.

"Deva..." ulang Bara dengan intonasi suara yang lebih keras.

"ya." kata Deva sedikit kaget.

"Udah nyampek." Mendengar kata Bara, Deva pun melihat sekitar, dan benar saja ternyata mereka sudah ada diparkiran.

Di hari minggu ini, Deva dijemput oleh Bara. Rencananya Bara ingin mengajak Deva jalan-jalan, padahal kemarin Deva sudah berencana menyibukkan diri di toko kue bundanya. Oleh karena itu, Deva meminta untuk ke toko kue bundanya terlebih dahulu untuk meminta izin pada bundanya secara langsung, karena tak bisa membantu bundanya ditoko kue seperti hari minggu biasanya. Tapi saat sampai di toko kue bundanya, Deva disuguhkan dengan wajah bahagia bundanya yang sedang bekumpul dengan Gio dan anak kembarnya, Angga dan  Anggi. Dari dalam mobil, Deva dan Bara dapat melihat sebuah backrgound keluarga bahagia disana.

"Bar, apa gue terlalu egois dengan tidak mengizinkan bunda menikah dengan om Gio, dan membuat Angga dan Anggi tidak merasakan sosok ibu dikehidupan mereka?" Tanya Deva pada Bara tanpa mengalihkan pandangannya dari bunda, Gio dan sikembar.

"Lo gak egois Dev, lo cuma belum bisa menerima orang baru sebagai keluarga" jelas Bara.

"Gu...gue cuma takut, bunda kembali terluka seperti dulu Bar. Dan.. sekarang gue liat bunda bahagia sama mereka. Apa ini pertanda kalo bunda akan bahagia sama mereka?"

"Dev, menurut gue apa yang lo rasain itu wajar, apa yang lo takutkan juga beralasan. Tapi yang harus lo tahu, lo gak bisa terus berpatokan sama masa lalu yang pernah lo dan bunda lo alami." Deva menatap Bara.

"Lihat, tante Dania terlihat bahagia. Gue yakin, lo tahu apa yang terbaik buat lo dan bunda lo." Bara tersenyum tipis kearah Deva.

Sungguh, Deva tak pernah bermaksud menghalangi kebahagiaan siapapun, terutama bundanya. Deva sangat menyayangi bundanya lebih dari apapun, dia hanya tak ingin bundanya kembali jatuh di masa kelam yang pernah mereka alami. Yang bahkan Deva pun sulit untuk mengembalikan pada sedia kala.

Tapi setelah melihat pancaran kebahagiaan yang terpancar dalam diri bundanya saat bersama dengan Gio dan si kembar  membuat Deva sadar bahwa bundanya juga memerlukan orang lain untuk lebih melengkapi kehidupannya. Mungkin inilah saatnya agar bundanya bisa membuka lembaran baru bersama dengan orang baru.

Deva mengambil smarphone yang ada ditas selempangnya, memutuskan untuk meminta izin jalan dengan Bara dan tidak bisa membantu bundanya ditoko kue melalui salah satu aplikasi chatting yang ada di smarphone-nya.

●●●

"Kenapa minta buat kesini, Dev?" Tanya Bara dengan khawatir.

Deva dan Bara ada ditempat yang sering Deva dan keluarganya jadikan tempat piknik dulu. Tempat penuh cerita indah dimasa kecil Deva.

"Kamu tahu Bara? Tempat ini memiliki banyak cerita. Jika diingat akan terasa menyesakkan tapi ditempat ini juga kadang buat aku tenang." Senyum Deva  sendu.

Deva memandang danau buatan yang ada didepannya.

"Disitu, kami dulu sering piknik disitu. Disana biasanya gue sama dia lomba lari, walaupun gue tahu, gue bakal kalah. Dan dirumah pohon itu, setiap kami kesini pasti akan ada foto yang kami simpan disana." Ucap Deva dengan tawa dibibinya tapi matanya juga mengeluarkan air mata.

Bara yang melihat Deva dalam keadaan seperti itu pun tak tega, Bara melangkah mendekati Deva  dan tanpa ragu merengkuh Deva dalam pelukannya.

"Mereka jahat Bar. Dia, yang gue bangga-banggain ke lo waktu kecil, dia bilang bunda perempuan murahan dan  dia panggil gue anak haram. Shelin dan mama sialannya ngerebut kebahagiaan gue sama bunda. Shelin sama mama sialannya itu gelandangan yang bunda tolong tapi mereka gak tau diri, mereka malah rebut kebahagian gue sama bunda gue, Bar." Deva melepas pelukan Bara lalu memengang kedua lengan bagian atas Bara

"LO LIAT KAN BAR, MEREKA BERTIGA BISA HIDUP DENGAN TENANG DAN BAHAGIA SETELAH NGANCURIN HIDUP GUE DAN BUNDA. Mereka terlalu jahat, Harusnya mereka mati." Deva menangis dengan nafas tersenggal.

"Gue gak rela mereka hidup bahagia, Bar. Gue gak rela..."  Deva akhirnya bisa mengeluarkan sesak yang ada didadanya, bisa meluapkan amarah yang sudah lama terpendam.

Bara tak bisa berbuat apapun selain memeluk Deva dengan erat, sembari mengelur surai coklat yang terkepang rapi itu.

"Lo kuat Dev, lo punya tante Dania dan lo punya gue yang akan selalu sayang sama lo."

'Bahkan gue juga cinta ke lo Dev' batin Bara.















Wah....
Akhirnya aku bisa lanjut nulis cerita ini, gak tau juga masih ada yang baca atau enggak soalnya udah mau satu tahun aku gk lanjutin cerita ini.

Salam manis dari aku🥰

Duka DevaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang