20. Bingung

164 20 52
                                    

Semangat membaca😊

"Bara sweet banget sih."

"Kok lo beruntung banget sih Dev?, disukain sama dua cogan sekolah."

"Yang pertama kak Rendra si ketua osis yang suka sama lo dari jaman SMP terus si Bara yang katanya bakal jadi kapten basket yang gak lain temen kecil lo sendiri."

"Lo ada stok lain gak Dev? Kalo ada bolehlah kasih gue satu aja."

"Gimana rasanya digendong cogan sekelas Bara Dev?"

"Kalo disuruh milih, lo bakal milih kak Renda atau Bara?"

"Kapan ya gue direbutin para cogan?"

Deva tidak tahu sudah berapa kali Aura mengulang rentetan kalimat tersebut hingga rasanya kupingnya panas karena ocehan tidak jelas Aura.

Bukan tanpa alasan Aura berkata demikian. Tadi saat Deva jatuh saat masih tanding basket dilapangan dengan spontan Bara dan Rendra memasuki lapangan.

Bara dan Rendra menayai keadaan Deva dengan panik, tanpa menghiraukan banyak mata memandang mereka, Bara bahkan sampai menggendong Deva kearah tribun karena Deva tidak mau ke UKS.

Bukan hanya itu saja, sebelum Bara menggendong Deva. Deva harus berdebat dengan Bara dan Rendra agar tidak dibawa ke UKS karena Deva ingin melihat teman-temannya berusaha memenangkan lomba antar kelas kali ini.

Lamunan Deva buyar saat Aura menyentuh bahunya, ternyata mobil yang ditumpangi Deva sudah ada dirumahnya. Dengan hati-hati Deva turun dari mobil.

Deva berjalan dengan terpincang-pincang akibat insiden dilapangan basket tadi. Saat sudah ada didepan pintu rumahnya yang sedikit terbuka, Deva menghentikan langkahnya.

"Dan soal perkataanku kemarin-kemarin aku gak bercanda, aku memang ingin kita hidup bersama dengan ikatan yang sakral. Punya tiga anak, Deva dan si kembar."

"Itulah masalahnya. Hidupku gak seperti dulu lagi, yang hanya memikirkan tentang aku aja. Sekarang ada Deva, yang kebahagiaannya lebih utama dari segalanya. Kamu bisa ngertikan?." Jeda Dania.

"Kita sama-sama tahu kalau hal yang paling penting adalah anak. Jadi aku gak bakal ngelakuin hal yang akan membuat anakku gak nyaman atau lebih parahnya terluka. Deva sudah pernah sangat bergantung pada sosok yang dia sebut ayah, tapi pada akhirnya dikecewakan teramat dalam." lanjut Dania.

"Kita bisa bicarain ini ke Deva. Kita minta persetujuannya. Kamu tahu Dania, kedua anakku tak pernah merasakan kasih sayang dari ibu mereka sejak lahir dan saat aku melihat binar bahagia dimata mereka karena kamu dan Deva, aku menjadi semakin yakin untuk berhubungn serius denganmu Dania."

●●●

Aku bukanlah wanita sempurna, aku juga memiliki banyak kekurangan. Dan dia tahu itu.
Aku menangis dipelukannya saat kami tahu ketidak sempurnaanku, kelemahanku. Dia menerima dengan ikhlas. Aku sangat bersyukur, tapi aku juga merasa sedih karena tak bisa mewujudkan mimpinya.
Sungguh hari yang membahagiakan sekaligus menyedihkan.

Tertanda
Dania

Tak banyak yang tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang dibesarkan dipanti asuhan, tak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya, yang bahkan tak tahu siapa orang tuanya. Aku mengalaminya, aku merasakannya, dan aku tak ingin putriku mengalaminya, cukup aku.
Biarlah aku menahan air mata hanya untuk terlihat bahagia didepannya, biarlah aku disebut bodoh karena masih bertahan hanya untuk melihat tawa lepas putriku.
Akan ku lakukan semua itu demi putriku, Ara.

Tertanda
Dania

Dunia ini sangat lucu, itulah yang Deva pikirkan saat ini. Bagaimana bisa orang diluar sana hanya melihat orang dari luarnya saja lalu berkata 'sempurna'.

Bagi orang diluaran sana hidup Deva dan bundanya adalah kehidupan yang sempurna. Contohnya saja Aura dia sering berkata "Dev hidup lo beruntung banget" kadang juga berkata "kurang beruntung apalagi coba hidup lo?.".

Ini Aura, teman yang sudah bersama sejak bangku sekolah dasar. Belum lagi pendapat orang lain diluar sana. Deva memang selalu diam dan bundanya dengan mudah tersenyum dan tertawa dihadapan banyak orang, tapi hanya itulah yang bisa orang-orang lihat. Tak akan ada yang tahu bukan, saat kita tertawa tapi hati kita menangis. Deva dan bundanya sangat pandai menutup luka dan duka dari banyak orang.

Hari ini Deva kembali merasa bingung, bingung akan dua hal. Dia bingung akan menjawab apa saat bundanya bertanya tentang lamaran dari om Gio untuk bundanya. Yang kedua, dia bingung dengan isi buku dairy bundanya, kekurangan apa yang sampai tak bisa mewujudkan impian dia?.

Deva berjalan kearah meja belajar, mengambil ponsel yang tadi dia letakkan disana. Beberapa saat Deva menekan layar ponselnya sampai sebuah suara keluar dari benda persegi panjang itu.

"Halo, Dev. Kenapa?"

"Gue besok gak ikut."

"Kemana Dev? Ngomong yang jelas napa!"

"Makan bareng."

"Maksud lo, lo gak bisa ikut makan bareng sama temen kelas yang lain?"

"Iya"

"Berarti besok gue gak usah jemput lo dong?"

"Iya."

"Berarti besok gue berangkat sendiri dong?"

"Iya."

"Emang kaki lo masih sakit ya?"

"Iya."

"Kalo lo gak dateng besok, jatah makanan lo gimana dong? Apa ambil gue aja ya? Kan lumayan."

"Iya."

"Demi apa Dev, gue tanya dari tadi lo cuma jawab 'iya-iya' doang, gue matiin nih, ya." Kata Aura mengancam.

"Iya."

"Tahulah. Capek gue ngomong sama lo." Dengan kesal Aura mematikan sambungan secara sepihak.

Tadi saat Aura bertanya tentang kakinya, Deva berbohong saat mengatakan kakinya masih sakit. Karena nyatanya kakinya sudah tidak terlalu sakit. Deva bahkan bisa berjalan seperti biasa walupun cara berjalannya agak lambat dan juga Deva tidak bisa terlalu menekan kakinya yang terkilir.

Besok Deva berencana akan membantu bundanya saja ditoko kue. Deva rasanya malas bertemu dengan banyak orang, lebih baik bersama bundanya di toko kue dengan menyibukkan diri disana.















Pengen lanjut nulis cerita ini tapi harus prioritasin lanjut ngerjain tugas😭😭
Semoga tetep lanjut nulis, aamiin

Duka DevaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang