Seokjin tengah sibuk berkutat dengan laporan mingguan. Kepalanya sudah cukup pening dengan dokumen-dokumen yang harus ia selesaikan segera. Sesekali pelipisnya ia pijat untuk menghilangkan denyutannya.
"Hyung ayo pulang." Jimin masuk ke ruang Seokjin. Tubuhnya sudah berbalut coats tebal dengan menenteng tas hitam.
"Oh Jimin-ah." Ucap Seokjin kaget. Ia menatap Jimin dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu memincingkan mata.
"Memangnya ini jam berapa? Kenapa kau sudah berkemas?" Tanya Seokjin heran.
Jimin menghela nafas dan memutar bola matanya jengah, "Ini sudah jam setengah lima hyung." Ucap Jimin setenang mungkin. Ia tidak mau terpancing emosi karena Seokjin selalu membuatnya kehilangan kesabaran.
Jimin sudah paham kebiasaan seokjin, ia selalu lupa waktu karena pekerjaan. Otak Seokjin terlalu memiliki banyak kapasitas hanya untuk bekerja hingga lupa waktu. Padahal Seokjin sering mengingatkan rekan kerja yang lain untuk tetap menjaga kesehatan tubuh dan pikiran.
"Sebentar ne. Kau duduk saja dulu. Atau mau pulang sendiri?"
"Aish hyung, aku kan tidak bawa mobil. Yasudah ku tunggu sampai kau selesai."
Jimin duduk di sofa dekat pintu keluar. Menggeser-geser layar ponsel hingga ia tertawa sendiri karena melihat banyaknya pembaruan status di media sosial.
"Anak jaman sekarang itu alay sekali ya, hyung. Rasanya aku mau muntah melihat semua postingan mereka." Jimin menggeleng kepala heran. Anak remaja sekarang banyak yang memposting foto bermesraan dengan kekasihnya. Selain itu tak jarang yang memposting konten-konten negatif seperti hoax, war, bullying dan masih banyak lagi.
Seokjin tak berpendapat. Dirinya masih sibuk dengan urusan pekerjaanya.
"Hyung kau alay tidak? Aku dulu sempat alay waktu masih SMP. Tapi sekarang tidak lah." Jimin seolah bicara sendiri. Tak ada yang menyahut kecuali bunyi jentikan jari Seokjin di kotak keyboard yang saling menyahut.
"Hyung, kau tidak mendengarkanku ya?." Jimin cemberut seraya menatap wajah Seokjin yang tengah fokus ke layar monitor. Jimin lagi-lagi menghela nafas.
Sudah setengah jam Jimin menunggu tapi Seokjin belum juga selesai.
Jimin menghela nafas malas. Entah sudah keberapa kalinya ia menghela nafas saat menunggu Seokjin. Jimin lalu menyandarkan tubuhnya ke bahu sofa. "Huft lama sekali..."
Jimin kembali melakukan aktivitas membosankannya, yaitu melihat timeline media sosial. Hanya untuk mengalihkan rasa bosannya yang nyatanya tambah membosankan saat melihat layar ponsel.
"Tidak ada yang menarik." Decaknya.
Saat jarinya malas menggeser-geser layar dari atas ke bawah, tak sengaja jempolnya mengantarkannya ke sebuah postingan yang menyertakan artikel tentang sebuah desa terpencil di Korea Selatan. Jimin langsung teringat lima tahun yang lalu dia juga pernah mengabdi disebuah desa terpencil. Tiba-tiba ide jahil muncul.
"Aku ganggu Seokjin hyung ah..." Batinnya.
"Hyung kau masih ingat tidak desa yang dulu pernah kita tinggali?" Tanya Jimin sekedar untuk mengalihkan perhatian Seokjin dari layar komputer.
"Eoh wae?" Jawab Seokjin singkat tanpa menghentikan ketikannya. Jimin menahan tawa. Ia tahu Seokjin tak akan menghiraukannya jika itu tentang lima tahun yang lalu.
"Kau rindu tidak? Kau kan sangat betah disana." Seokjin hanya tersenyum kecil.
"Eh iya katanya si Taehyung sekarang disana hyung. Sama seperti kita dulu. Kau tidak mau kesana? Menjenguknya atau melihat tempat prakteknya begitu?" Entah mengapa Jimin sangat bersemangat sekali mengganggu konsentrasi Seokjin. Jimin cengar-cengir melihat Seokjin semakin tak fokus.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Years Ago
FanfictionTiga dokter muda tengah mengabdi disebuah desa terpencil, terdalam, dan terpelosok jauh di daerah Busan dekat pegunungan. Mereka adalah Kim Seokjin, Min Yoongi, dan Park Jimin. Mereka tak menyangka berkat pengabdian mereka disana menjadi sebuah benc...