30 [Terimakasih]

1K 115 2
                                        

Pagi-pagi begini Hoseok sudah selesai mengelap kulit Jungkook hingga bersih dengan air hangat. Pijitan kecil sudah ia berikan pada adiknya.

Sementara di sisi Jungkook, Seokjin masih melamun dan termenung. Dari semalam ia tak pulang karena hatinya gelisah dengan ucapan sang ayah. Kaki dan tubuhnya enggan meninggalkan Jungkook meski ada Hoseok yang menemani.

"Dokter Seokjin, aku pergi dulu ne. Aku titip Jungkook padamu." Ucap Hoseok setelah meletakkan baskom yang telah kosong dan handuk ke bawah brankar.

Seokjin mengangguk. Hoseok lalu mendekati kepala Jungkook, ia langsung melaksanakan ritual rutinnya sebelum pergi. Kecup kening Jungkook dan mengusak surainya. Tak lupa membisikkan sebuah kalimat yang hanya dirinya yang tahu.

Kini Hoseok sudah meninggalkan ruangan. Hanya tinggal Jungkook dan Seokjin disini. Suasana hening semakin terasa saat bunyi alat pendeteksi jantung menjadi satu-satunya sumber bunyi.

Seokjin masih menggenggam tangan Jungkook. Maniknya tak beralih dari mata Jungkook yang tertutup. Ada rasa tak tenang saat suara berat ayahnya terngiang ke telinganya. Dirinya akan segera berpisah lagi dengan Jungkook jika ia tak bisa mendapat kesibukan apapun di Korea.

Sungguh situasi yang sangat sulit. Waktu yang dibutuhkan untuk menanti panggilan dari rumah sakit di seluruh Korea semakin menyempit. Jika dalam dua minggu tak ada kabar, Seokjin resmi pindah ke Singapura.

Seokjin mengacak rambutnya sendiri. Frustasi dengan segala pikirannya yang teralih pada status dirinya kini.

Tiba-tiba saja disela pikiran Seokjin yang kalangkabut, Namjoon masuk ke ruangan Jungkook.

"Sudah siang begini, kau masih belum pulang ke rumah?"

Tanyanya seraya mengecek kondisi Jungkook. Seokjin menggeleng pelan, tentu tanpa Namjoon ketahui karena ia sibuk menggerak-gerakkan tulang dan persendian pasiennya itu. Dua tangannya, dan kedua kakinya menjadi lemas diberi olahraga kecil dari tangan Namjoon. Ia selalu melakukan itu pada Jungkook setiap pagi agar saat ia bangun, sendi dan tulangnya tak terlalu kaku.

Selesai sudah Namjoon memberikan peregangan dan pijatan kecil, ia beralih menatap Seokjin yang sedari tadi hanya diam saja.

"Kenapa? Ada masalah?"

Seokjin terlihat menghembuskan nafas kasar.

"Ayahku akan mengirimku lagi ke Singapura." Ucapnya pelan.

Namjoon terkesiap. Mengapa harus ke Singapura lagi? Baru saja Seokjin pulang dari militer dan sekarang ia sangat senang bisa kembali menghirup udara segar.

Namjoon pun melihat perubahan wajah Seokjin pagi ini. Tak ada semangat apapun yang biasa terpancar di wajahnya. Hanya ada sendu dan lamunan.

"Kapan?" Tanya Namjoon lagi.

"Dua minggu lagi. Jika aku belum juga mendapat pekerjaan disini. Sementara aku masih menunggu panggilan dari pusat dimana aku akan ditempatkan."

Namjoon berpikir lagi. Ia merasa kasihan pada Seokjin. Dulu dirinyalah yang mengeluarkan Seokjin dari rumah sakit demi ayah mertuanya dan nama baik rumah sakit. Ia bersalah telah melakukan itu. Dan seharusnya sekarang ia bantu Seokjin. Ia masukkan kembali Seokjin ke daftar nama dokter rumah sakit milik ayah mertuanya ini. Tapi seperti yang ia dengar dari ayahnya, Tuan Park itu belum mau menerima Seokjin.

"Jadi jika kau dapat pekerjaan, ayahmu tidak akan mengirimmu?" Seokjin mengangguk. Namjoon tahu apa yang harus ia lakukan. Menemui lagi Tuan Park.

***

Hoseok terduduk di samping tempat cucian piring yang sudah bersih tanpa piring kotor. Hari sudah siang dan saatnya semua pekerja diperbolehkan beristirahat. Pengunjungpun sudah sepi karena memang sudah hampir jam dua.

5 Years AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang