Seorang anak tengah meringkuk dipojok kamarnya. Menatap jendela yang menyemburkan sinar kuning dari sang surya. Cahaya mentari itu menyelinap lurus kearah tubuhnya. Menghangatkannya melebihi hangatnya sweater tebalnya.
Pandangan anak itu kosong. Lebih terlihat melamun. Manik bambinya sayu dan tak memiliki rona kehidupan. Wajahnya memucat lantaran perutnya tak ia isi setetes minumanpun.
Sejak hari itu, saat dia mengetahui apa yang terjadi sebenarnya pada tubuhnya, Jungkook kehilangan semangat hidup. Dia murung, mengunci diri dikamar kecil ini. Tak ada orang yang boleh masuk, meskipun itu Hoseok.
Dia butuh waktu sendiri. Mengistirahatkan pikirannya sendiri dari hal-hal yang memungkinkan akan ia alami dimasa depan.
Jungkook takut, sangat takut. Dia takut hidupnya tak akan lama. Dia takut penyakitnya semakin hari semakin mengurangi umurnya. Virus HIV bukanlah virus yang bisa disepelekan. Dia virus yang tak memiliki obat penyembuh. Belum ada pasien HIV yang bisa sembuh total. Jungkook tahu itu, karena dia mengetahuinya dari gurunya.
Pengetahuannya akan dunia kesehatan bisa dibilang lebih dari siswa lain. Cita-citanya menjadi seorang dokter membuatnya senang belajar medis. Penyakit semacam ini ia tahu tak akan ada yang dapat menyembuhkan. Virus tak akan hilang sepenuhnya dari tubuh manusia yang sudah terjangkit.
Jungkook masih tak menerima. Dia berontak pada tubuhnya sendiri. Mengapa virus ini masuk ke tubuhnya? Mengapa harus dia yang terkena virus sialan ini? Virus yang bahkan akan merebut kesempatan hidupnya. Virus yang bahkan akan menularkannya pada orang lain. Jangan, Jungkook tak ingin orang lain terkena dampaknya. Dia harus menjaga orang-orang disekitarnya dari penyebaran virus berbahaya ini.
Tok tok tok...
"Jungkook-ah... Makan yuk dek. Hyung sudah menyiapkan sarapan untukmu." Bujukan Hoseok masuk ke telinga Jungkook. Entah sudah keberapa kalinya Hoseok membujuk Jungkook untuk keluar, tetapi bocah kecil itu tetap menulikan telinganya.
Hoseok menggigit bibir bawahnya frustasi. Dia bahkan memilih untuk tak berangkat bekerja demi menjaga Jungkook. Dia tahu perasaan adiknya masih kacau, sedih, dan rapuh. Jungkook bocah periang yang berubah pendiam saat tahu penyakit berbahaya masuk kedalam tubuhnya.
Hoseok tak bisa berbuat apa-apa. Jungkook sudah terlanjur tahu tentang penyakitnya. Hatinya ikut sakit melihat bagaimana perubahan sikap Jungkook setelah semuanya ia tahu. Bagaimana hari-hari Jungkook setelah hari dimana sebuah amplop sudah berserakan di lantai.
Hoseok tak ingin adik kecilnya bersedih. Dia hanya ingin melihat Jungkook tersenyum bahagia. Hoseok selalu menghibur Jungkook meskipun dari balik pintu kamar. Setidaknya celotehannya bisa didengar Jungkook didalam sana.
"Jungkook-ah, kita pergi ke kota yuk. Di Busan banyak es krim yang lebih enak dari es krim disini lho. Kau pasti menyukainya. Berapapun yang kau mau akan hyung belikan." Tak ada sahutan dari dalam kamar. Hoseok kembali berpikir hal-hal yang mampu membuat Jungkook beranjak.
"Jungkook-ah, aku rindu kakek Jeon. Kau tak rindu? Ayo kita menemuinya. Jangan lupa bawa buah kesemek kesukaan kakek."
Tetap tak ada tanda-tanda Jungkook akan menerima ajakannya. Membuat Hoseok kembali menghela nafas.
Dia berjalan kearah meja makan. Nasi dan lauk pauk sudah dingin, kepulan asapnya sepenuhnya hilang.
Dia lalu duduk didepan masakannya sendiri. Mengambil piring yang ia isi nasi dan beberapa lauk pauk. Lalu mulai menyuapi mulutnya sendiri.
Disela makannya, Hoseok menahan isakannya. Air matanya berlomba-lomba untuk jatuh namun segera ia tahan. Beberapa kali kepalanya ia dongakkan keatas agar mata itu mampu menampung lebih banyak butiran bening yang sudi keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Years Ago
Fiksi PenggemarTiga dokter muda tengah mengabdi disebuah desa terpencil, terdalam, dan terpelosok jauh di daerah Busan dekat pegunungan. Mereka adalah Kim Seokjin, Min Yoongi, dan Park Jimin. Mereka tak menyangka berkat pengabdian mereka disana menjadi sebuah benc...