Pagi sudah tiba. Sang surya telah berdiri setinggi tombak. Burung-burung liar berlarian diatas atap rumah tua. Para anjing menyuarakan gonggongannya menyambut tamu yang datang.
Satu persatu pasang kaki berangsur-angsur memenuhi halaman salah satu rumah yang berdiri di tepi tebing. Satu kendi besar penunggu akses masuk lagi-lagi dijejeli berlembar-lembar amplop. Duka cita katanya.
Dua orang namja berkemeja hitam berdiri diambang pintu. Setiap kedatangan tamu, mereka menyambutnya tanpa senyuman. Para tamu tak akan marah, walau sambutan yang mereka layangkan tak bersahabat sama sekali. Setidaknya mereka tak menangis.
Masuk ke badan rumah, di ruang tamu para warga tengah mengumandangkan doa bersama. Mereka duduk mengelilingi satu tubuh yang terbujur kaku di dalam sebuah peti kayu. Remaja laki-laki yang hanya tidur disaat semua orang sibuk menangisi kepergiannya itu tak bergeming. Ia bahkan sudah rapi dengan tuxedo hitam dan riasan tipis di wajah pucatnya seakan senang dengan kepergiannya.
Diantara para pelayat, terlihat satu namja yang sangat mencolok. Sebenarnya dia bukan termasuk para pelayat itu, tapi dialah tuan rumah ini.
Pemuda bernama Jung Hoseok itu terus saja menangis disamping peti mati adiknya. Hingga wajahnya bengkak, matanya sembab, tak berhasil menghentikan tangisnya. Ia terus meracau, memanggil nama Jungkook dan memintanya bangun. Meski ia sendiri tahu hal itu tidak akan pernah terjadi.
"Jungkookie... Hiks Jungkookie... Bangun, dek... Kau bilang ingin pulang ke desa. Kita sudah pulang, kita sekarang dirumah hiks..." Ucapnya seraya mengelus pipi tirus adiknya yang mendingin. Linangan air mata tak akan pernah berhenti jika matanya menatap wajah pucat Jungkook. Hoseok tak peduli dengan siapapun. Tangisnya yang tak kunjung reda membuktikan sekarang ia benar-benar rapuh.
Namjoon mendekat, mengelus punggung Hoseok yang bergetar. "Ikhlaskan, Hoseok-ah."
Namjoon paham bagaimana perasaan Hoseok sekarang. Walau ia juga sama, amat terpukul dengan kepergian Jungkook, tapi Hoseok lebih dari yang Namjoon rasakan. Dia hyungnya, dia yang selalu bersama Jungkook dua puluh empat jam. Kedekatannya tak diragukan lagi, bahkan jiwa Jungkook sudah menyatu bersama jiwanya.
"Dek, buka matamu. Sekarang hyung sudah membawamu pulang, jadi tolong buka matamu. Lihatlah rumah kita sedikit retak karena kita terlalu lama di Seoul. Bangun dan bantu hyung memperbaikinya."
Hoseok terkulai lemah di sisi peti mati adiknya. Tubuhnya lemas, tenaganya habis untuk menangis sejak hari kemaren. Tangan kanannya tak henti mengelus manik terpejam milik adiknya. Berharap dua bola mata itu bisa kembali membuka.
"Kenapa? Kenapa kau memilih pergi? Kau ingin pulang tapi kenapa harus ke rumah Tuhan? Hiks... Kook, aku tidak akan sanggup melanjutkan hidupku. Aku tak akan kuat hiks..."
Namun jasad yang sedari tadi diajak bicara tak berubah. Wajah pucat pasi itu terlihat damai tak terusik tangisan Hoseok. Bisa dilihat lengkungan bibirnya setara seperti orang tengah tersenyum. Begitu manis meski sekarang ia tak memiliki nyawa.
Sementara Seokjin, dokter itu terlihat lebih tegar. Ia memilih diam di pojok ruangan. Duduk berselonjor dengan tatapan mata kosong dengan tangan yang memeluk figura besar. Wajahnya lusuh dan matanya bengkak.
Tak ada isakan yang keluar dari mulutnya. Dia layaknya orang melamun yang jiwanya terbang entah kemana.
"Kook, kenapa kau harus pergi? Kook, tidak bisakah kau tetap disini, bersama hyung? Kau bisa berbagi rasa sakit padaku, kau bisa memelukku saat rasa sakit itu datang padamu. Salurkan semua perihmu padaku. Asal kau tak pergi, aku rela."
"Kook, setelah kau pergi aku tak tahu lagi harus bagaimana? Hidupku akan semakin sulit tanpa kehadiranmu. Kau pergi begitu cepat. Kau mendahuluiku sebagai hyung. Itu tidak adil."
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Years Ago
Fiksi PenggemarTiga dokter muda tengah mengabdi disebuah desa terpencil, terdalam, dan terpelosok jauh di daerah Busan dekat pegunungan. Mereka adalah Kim Seokjin, Min Yoongi, dan Park Jimin. Mereka tak menyangka berkat pengabdian mereka disana menjadi sebuah benc...