0. Bintang Kecil dan Dunia

22.9K 1.3K 34
                                    

Dua orang anak terlentang di atas tanah lapang yang kosong. Mereka menatap matahari yang mulai kembali ke peraduannya, menyisakan sedikit cahaya remang-remang yang makin lama makin redup. Keduanya bersimbah keringat, baju yang mereka kenakan telah dipenuhi noda berwarna tanah. Namun mereka tetap saja di sana, berbaring dalam diam, menatap langit yang kini didominasi warna gelap dan ditaburi bintang-bintang.

"Apa itu takdir?" tanya salah satu dari mereka, seorang gadis kecil dengan gaun putih yang kotor,  kepada anak yang lainnya—anak laki-laki dengan tatanan rambut berantakan.

"Kenapa nanya begitu?" tanya anak laki-laki itu kembali.

"Ya ... cuma pengin tau aja," jawab si gadis. Ia mendesah pelan kemudian kembali menatap langit malam yang bertabur bintang di atasnya.

Anak laki-laki itu mengambil posisi duduk, membuat si gadis kecil bingung, namun kemudian juga ikut terduduk di sampingnya. "Kamu liat di atas?" Ia menunjuk bintang-bintang yang berkelap-kelip. "Mereka semua punya takdir masing-masing. Ada yang takdirnya terang benderang, ada yang takdirnya redup. Ada yang bertahan lama, ada juga yang hanya sebentar. Tapi yang harus selalu kita ingat, Tuhan itu adil."

"Hah?" Si gadis mengernyit. "Apa hubungannya takdir, bintang-bintang, dan Tuhan?"

"Jelas ada." Anak laki-laki itu menghadapkan tubuhnya ke si gadis. "Tapi kalo aku jelasin, kamu pasti nggak akan ngerti."

"Ih, nyebelin."

Anak laki-laki itu tertawa, lalu mengacak-acak rambut gadis itu sayang. "Nanti juga kamu bakal ngerti kok."

"Nantinya itu kapan?"

"Tanya diri kamu sendiri, dong."

"Kalo aku nggak ngerti-ngerti juga gimana?"

"Aku bakal ngasih tau kamu," jawab si anak laki-laki, "tapi nggak sekarang."

"Terus kapan?" tanya gadis kecil itu, lagi.

Ia terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk membuat gadis itu mengerti. "Kalo kamu udah cukup besar buat mengerti."

Gadis itu mendecak. "Kamu ngomong gitu kayak kamu udah besar aja. Umur kita cuma beda dua tahun, tau."

Anak laki-laki itu hanya tersenyum menanggapi ungkapan bernada kesal gadis itu.

"Tapi kamu janji, ya?" Gadis kecil itu kembali buka suara.

"Janji apa?"

"Ngasih tau aku tentang takdir kalo aku udah cukup besar buat mengerti." Gadis itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji?"

Anak laki-laki itu tertawa. "Kamu apaan sih."

"Ih, janji dulu."

"Iya, iya. Janji." Anak laki-laki itu menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking si gadis. Mengalah, agar bisa melihat seulas senyuman terbit di wajahnya.

Mereka berdua sama-sama terdiam, menikmati angin sepoi-sepoi yang sekali-kali bertiup. Si gadis mendongak, menatap bintang-bintang malam yang beragam.

"Kalo kamu boleh jadi bintang, kamu mau jadi bintang yang mana?" tanya si anak laki-laki, menyadari bahwa gadis di sebelahnya sedang menatap langit yang menaungi mereka.

"Aku nggak perlu lagi jadi bintang. Aku, kan, Bintang." Si gadis tertawa. "Tapi kalo boleh, sih, aku mau jadi yang itu." Gadis itu—Bintang—menunjuk bintang yang paling terang di antara yang lainnya. "Kalo kamu?"

"Aku mau jadi yang itu." Laki-laki itu menunjuk bintang di sebelah bintang pilihan Bintang. Cahayanya yang tidak terlalu terang, makin tidak terlihat karena berada di samping bintang yang terang.

Bintang mengernyit. "Mana?" Ia menyipitkan mata, mengamati dengan jelas. "Ih, itu kan redup bintangnya."

"Aku nggak mau jadi bintang yang terang," tukasnya, "karena bintang terang itu masanya singkat."

Bintang terdiam, tidak bertanya lebih lanjut. Walaupun penasaran, ia tahu ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang dimintanya. Ia yakin hanya akan menerima jawaban yang akan membuatnya kembali bertanya, seperti; Nanti juga kamu mengerti atau Tanya diri kamu sendiri.

"Langit."

Anak laki-laki itu menoleh. "Hm?"

"Pulang, yuk? Dingin nih." Bintang melingkarkan lengannya di sekitar tubuhnya, memberi pelukan pada dirinya sendiri.

Langit bangkit dari duduknya lalu mengulurkan tangannya pada Bintang. "Yuk," ujarnya. Bintang meraih uluran tangan Langit, lalu berdiri dan menepuk-nepuk bagian bawah gaun putihnya untuk membersihkan sebuk-serbuk tanah yang menempel disana.

Kedua anak itu meniti jalan pulang, ditemani hembusan angin malam yang dingin, dan bintang-bintang yang berpendar sesuai takdir masing-masing.

***

Petang hari berikutnya, Bintang melangkah ringan ke rumah Langit, berniat mengajak anak itu pergi ke tanah lapang mereka seperti petang-petang hari sebelumnya. Entah untuk bermain petak umpat, mengobrol tentang nilai ulangan yang jelek, bercanda, atau sekadar duduk berdua dalam diam.

Bintang mendongak ketika menapaki pagar depan rumah Langit, bersiap meneriakkan namanya untuk memanggil. Gadis kecil itu mematung saat mendapati sebuah plakat berisi deretan huruf terpampang di depan rumah kecil tersebut. DIJUAL; baca Bintang dalam hati, berulang kali berharap bahwa ia salah mengeja huruf-huruf tersebut.

Bintang berusaha masuk, namun pagar rumah tersebut ditutup rapat dengan gembok. Masih belum menyerah, ia menggoyang-goyangkan jeruji besi bercat putih tersebut, seakan bisa meruntuhkannya dan bisa segera masuk ke dalam untuk menemui Langit.

Setelah beberapa saat, Bintang berhenti. Ia tersadar bahwa pagar besi tersebut tidak akan runtuh—tenaganya terlalu kecil untuk meruntuhkan benda itu.

Juga sadar bahwa orang yang dicarinya tidak ada di dalam.

Langit pergi.

Bintang memejamkan mata rapat-rapat, menahan butiran bening yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

Langit pergi tanpa pamit padanya.

Gadis itu belari sekencang-kencangnya ke tanah lapang yang biasa ditempatinya bersama Langit. Lapangan itu kosong seperti biasa, namun Bintang tidak pernah merasa sekosong itu. Ia jatuh berlutut disana, bersamaan dengan merembesnya air mata yang tidak sanggup lagi ia bendung.

Langit pergi tanpa pamit padanya. Dan tanpa memenuhi janji yang baru saja dibuatnya.

"Jahat," isaknya parau. "Kamu jahat, Langit."

Bintang memejamkan mata rapat-rapat, membiarkan butir-butir air mata mengaliri pipinya sejenak.

Apa takdir itu sungguh ada? Bintang mulai skeptis tentang hal itu. Kalau benar ada, kenapa hidupnya selalu dirundung pilu? Kenapa kesedihan selalu menghinggapinya tiap waktu?

Seharusnya Bintang tidak pernah percaya pada Langit. Karena apapun yang dikatakan anak laki-laki itu hanya omong kosong.

Seharusnya Bintang juga sadar dunia tidak pernah bisa bersikap baik padanya, tidak pernah mengizinkannya bahagia barang sejenak.

Gadis itu mengusap air matanya, bangkit dari lapangan itu, dan berjalan pulang seorang diri.

Sejak hari itu, Bintang tidak lagi percaya pada janji, persahabatan, dan bahkan takdir.

------

A/N: Hai! Ini cerita keduaku, semoga suka :3 vote & comment!

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang