24

556 84 17
                                    

Paginya, Jennie terbangun dengan tenggorokan kering. Ia teringat kalau semalam suntuk habis menangis selama dua puluh menit tanpa henti sampai cegukan karena menonton drama. Efeknya cukup kuat, karena bisa ia rasakan juga kalau matanya perih dan mungkin membengkak.

Dengan tingkat malas stadium akhir, Jennie bangkit sebelum Lalisa terbangun. Berjalan dengan langkah gontai ke arah dapur dan dahi yang mengernyit, sambil meraba-raba furnitur. Terlebih karena matanya belum terbuka, kelopak matanya terasa diberatkan baja, efek samping dari tidur larut.

Sampai juga, untung saja Jennie tidak terbentur dinding ataupun interior rumah. Gadis itu minum dengan segera, karena entah kenapa tenggorokannya terasa sangat kering.

Ting!

Dentingan suara bel rumah mengganggu aktivitas melamun Jennie. Seraya berdecak, gadis itu mulai menggerutu tak jelas saat menyadari ini masih terlalu pagi untuk waktu berkunjung. Baru saja gadis itu hendak beranjak dari dapur guna membuka pintu, sekelebat ingatannya tentang malam itu kembali terbayang.

Jennie menggigit bibir bawahnya gugup, panik kembali menguasai setengah dari dirinya. Dengan langkah gemetar dan napas yang mulai memburu, gadis itu tetap nekat menerobos membuka pintu. Menutup mata dan langsung mundur setelahnya, dengan sikap kuda-kuda memasang gestur waspada.

Aneh, Jennie merasa tidak ada bahaya yang mengancam. Maka dibanding harus merasa penasaran, Jennie mulai membuka matanya perlahan. Menerima bulat-bulat kemilau matahari yang langsung menusuk kedua manik cokelatnya. Tapi dari semua itu, Jennie justru terpaku saat menyadari siapa objek yang berani bertamu padanya sepagi ini. Tidak pagi, sih, jam sepuluh waktu Korea Selatan.

"Jennie...," panggil orang itu dengan suara serak, lirih. Dan Jennie sebagai empunya nama justru merasa merinding setelah suara itu dengan lembut menyapa pendengarannya.

Hening kemudian, karena Jennie masih dalam mode shock setelah menerima 'kejutan' pagi. Gadis itu bahkan lupa menutup mulut, menghancurkan image garang yang selama ini ia tunjukkan. Berganti dengan sosok lugu yang menjadi diri sesungguhnya.

"Boleh aku minta sesuatu padamu?" tanya orang itu, mengulurkan tangan yang entah apa maksudnya ke arah Jennie yang masih diam mematung.

"A-apa?" jawab Jennie lirih, hampir tidak terdengar kalau saja Hyunjin tidak memiliki pendengaran yang tajam.

"Jadi kekasihku, bolehkah?"

***

Oke, Jennie rasa dia sudah gila. Ah, lebih tepatnya mereka berdua sudah gila. Didatangi pagi-pagi disaat otak belum sepenuhnya bekerja, dilanjut obrolan–sapaan absurd dan berakhir kencan. Apa-apaan itu?!

Bahkan, ia tidak pernah menyangka kencan pertama-nya akan sangat tidak jelas awalannya. Dan bahkan, ia tidak pernah menyangka kalau Hyunjin akan menjadi kekasihnya. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya.

"Hei, kurasa kita tidak perlu berdiam canggung seperti ini." diam-diam, Jennie merutuki mulutnya yang asal berbicara.

Sedangkan sang pemuda yang awalnya berfokus pada ponsel, kini menoleh dan seketika ingat kenapa ia berada di sini. Bersama Jennie, tentunya. Seraya berdeham canggung, pemuda itu berkata dengan intonasi yang dibuat santai.

"Kau mau ke sungai Han?" tawarnya, dengan uluran tangan yang ragu-ragu Jennie sambut.

Pemuda itu juga bingung, pasalnya Jennie langsung mengiyakan ajakan berkencannya bahkan tanpa dipikir dulu. Meski senang bukan kepalang, tapi rasanya tetap janggal. Pemuda itu tidak dilatih menyembunyikan perasaan, jadi dengan segera saja ia bertanya kepada Jennie yang kini tengah berjalan dengan semilir angin yang seakan mengelus surainya.

"Jennie, kenapa kau mau jadi kekasihku?" tanyanya, sebelum kemudian tersadar atas pemilihan diksi yang tidak sesuai dengan kalimatnya barusan. "Maksudku, apa kau tidak mau berpikir dulu? Agar tidak menyesal kemudian?"

Jennie menggeleng ringan sebelum tertawa tak kalah ringannya, membuat darah si pemuda berdesir. "Tidak, Hyunjin. Aku tahu kau orang baik, jadi kalau aku titipkan hatiku untukmu sepertinya tidak masalah."

Hyunjin, tersenyum. Meski ada setitik rasa kecewa karena jawaban Jennie tidak sesuai yang diharapkan. Tapi, menurutnya itu sudah cukup. Mengingat, mereka berdua tidak begitu dekat dan Jennie juga baru mengenal Hyunjin dengan benar karena insiden Yeji.

Ya, Jennie mulai membuka diri pada umum ketika masalah yang satu itu menimpa Hyunjin. Dan langkah pertamanya dalam berbaur, adalah mencoba menyemangati lelaki yang bermarga Hwang itu dan berhasil meski caranya sangat sederhana. Karena Jennie bukan tipikal orang yang senang berbasa-basi, gadis itu justru langsung berbicara pada poinnya.

"Menangis terus-menerus seperti itu tidak akan membuat masalah dan kesedihanmu raib, Hyunjin. Justru, kau mencoba membunuh dirimu sendiri secara perlahan dengan alibi kesedihan."

Karena Hyunjin masih dalam emosi labil, lelaki itu justru meninggikan intonasi bicaranya tanpa sengaja. Lupa akan siapa dia berbicara, sekaligus lupa dimana dia berada.

"Kau tidak pernah mengerti keadaanku! Kau tidak pernah merasakan kehilangan! Aku..., aku..., Yeji...,"

Mengingat itu, Hyunjin sering terkekeh saat menyadari betapa emosionalnya dia. Tapi disamping itu, jawaban Jennie dan kejadian selanjutnya adalah salah satu yang Hyunjin yakini tidak akan pernah hilang dari ingatannya.

"Aku memang tidak pernah mengalami apa yang sekarang tengah kau alami. Tapi, kalau kau mau, izinkan aku merasakan bagian dari kesedihanmu. Anggap aku adalah dinding, dan kau bisa menangis sambil bersandar padaku, sepuasnya."

Dari situ, Hyunjin mulai mengetahui rasa nyaman asing, yang semakin hari semakin kuat sampai ia tahu sendiri apa penyebabnya.

Menyadari Hyunjin berjalan dengan langkah kosong dan lamunan yang senantiasa mengiringi, Jennie mengernyit heran. Gadis itu melambaikan tangannya di hadapan wajah Hyunjin, membuat lelaki yang kini menjadi kekasihnya itu terkesiap. Alih-alih bertanya langsung, Jennie justru hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai isyarat bertanya.

"Ah, sudahlah. Ayo, jalan lagi." ucap Hyunjin dengan tangannya yang mengusap tengkuk kikuk.

Beruntung, Jennie tidak menuntut lebih jauh dan menganggap lamunan dan sikap Hyunjin sedari tadi hanya bentuk kecanggungan. Gadis itu mengangguk memaklumi sebelum tangannya bergerak. Menyelipkan jari jemarinya di sela-sela jari Hyunjin, menautkan kedua telapak tangan mereka selayaknya sepasang kekasih pada umumnya. Dan karena satu hal lagi, Hyunjin lebih banyak terkejut pada hari ini karena Jennie.

***

Komen dong, Moy butuh moodbooster. Btw, thanks buat 5k views-nya! Ga nyangka bisa sampe sebanyak ini, terharuuuuu

/nangis

Sekali lagi, usia di real life tidak berlaku disini!

Sekali lagi, usia di real life tidak berlaku disini!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Alien ; Taennie ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang