Part 4

3K 215 2
                                    

~

_______

"Selamat pagi, Dok." Para suster menyapa Aqilah saat gadis itu berjalan dikoridor rumah sakit menuju ruangannya.

Tak lama, ia pun berada di pintu masuk ruangannya. Ia menoleh kiri kanan seperti sedang mencari seseorang.

"Nina dimana yah?" gumamnya. Setelah itu ia membuka pintu ruangan yang ia tinggalkan selama 3 hari.

Aqilah mendudukkan tubuhnya di kursi kebesarannya. Tak lupa sebelum itu, ia menyimpan tas selempangnya itu. Sembari menunggu Nina datang, ia memijit pelipisnya. Penglihatannya sedikit buram. Rasanya istirahat yang semalam tidak membuat lelahnya menghilang begitu saja. Terlebih pesan whatsapp semalam sangat mengganggu pikirannya.

"Dokter sudah lama?" Tiba-tiba suara Nina memecah keheningan ruangan itu. Sedari tadi, Aqilah tidak menutup rapat pintu ruangannya sehingga Nina bisa masuk dengan mudah.

Aqilah menggeleng. "Belum lama."

"Oiyaa Nin, lo tau nggak siapa aja pasien gue yang meminta nomor telepon gue?"

"Mmmm. Saya rasa banyak dok. Hampir semua malah."

Aqilah menghela napas. Ia sangat malas untuk mengangkat suara. Tapi, rasa penasarannya mengalahkan rasa malasnya untuk berbicara. Demi apa, rasanya ia ingin sekali merobek mulut pasiennya itu menggunakan pisau bedah jika mengingat pesan whatsapp semalam.

"Maksud gue, nomor pribadi gue. Lo kan tau Nin, gue nggak mau ada orang yang tau nomor gue yang itu," dengus Aqilah.

"Maafkan saya dok, kemarin saya dipaksa oleh keluarga pasien CEO GG Asla Group. Saya diancam akan kehilangan pekerjaan saya, dok. Karena saya sangat butuh uang dan saya tidak bisa kehilangan pekerjaan saya, jadi saya tidak punya pilihan lain selain memberikannya." Nina tertunduk lesu. Di satu sisi, Ia merasa sangat bersalah. Namun di sisi lain, ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya.

Aqilah menghela napas panjang. Ia sudah menduga hal ini. Tebakannya tepat sasaran. Pria yang dimaksud dirinya pasien adalah CEO arogant dan menyebalkan bersama antek-anteknya. Ia menyerang titik kelemahan seseorang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Meskipun itu terbilang sangat tercela.

"Iya, Nin. Gue paham. Kalo orang berkuasa, emang seenak jidatnya lakuin apa aja. Belom lagi jadi raja. Gue do'ain dia nggak bakal jadi sukses seluruh dunia," omelnya.

"Hussttt. Dok, nggak boleh ngomong kayak gitu," larang Nina.

"Nin, lain kali lo nggak usah seformal ini kalo cuman berdua dan bukan bahas pekerjaan. Kita ini teman, lohh."

"Gue risih banget, sumpah!" tambah Aqilah yang dijawab anggukan oleh Nina.

"Oiya, CEO itu kayaknya mau datang lagi kesini. Gue sihh cuma dikasih tau sama adeknya. Katanya Kakaknya mau ketemu sama lo."

"Lo hati-hati yahh, Qila. Dia keliatannya kayak berbahaya dan penuh obsesi. Kadang dingin, kadang kurang ajar. Sikapnya berubah-rubah kayak musim," lanjut Nina.

"Emang lo tau darimana?" tanya Aqilah yang sepertinya terlihat bingung seperti orang bodoh. Pasalnya, Nina lebih tahu tentang CEO itu dibanding dirinya.

"Jangan-jangan lo penguntit yahh. Atau lo itu pengagum rahasianya dia?" tebak Aqilah yang asal-asalan.

"Heh? Hahahaha. Nggak mungkinlah. Lo tuh ada-ada aja dehh." Nina tertawa sembari menggelengkan kepala tanda tak percaya dengan pikiran dangkal temannya itu.

"Kemarin adiknya ngomong kayak gitu. Dia ngancem gue dan ngasih tau kalo kakaknya seperti ini, seperti itu," jelas Nina. Sedangkan, Aqilah hanya ber-oh ria.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang