Part 37

2.7K 168 4
                                    

Hari berganti hari, keadaan Aqilah masih saja sama. Ia tidak pernah memeriksakan kandungannya lagi pada dokternya. Seringkali Syakilah menasihati menantunya. Namun, tidak membuahkan hasil. Yang dilakukan Aqilah hanyalah diam di depan jendela dan menatap kosong kearah luar seperti menanti kepulangan seseorang yang sudah bisa di tebak siapa seseorang itu. Untuk makan pun, ia tidak lagi nafsu seperti dulu. Meski begitu, ia tetap makan untuk memenuhi nutrisi bayinya. Ia terus-menerus mengusap perutnya. Air matanya kering dan tidak lagi keluar.

"Kamu nggak usah khawatir yahh nak. Kamu punya Bunda. Lupain aja kata-kata Ayahmu itu. Mungkin dia lagi capek jadi bicaranya jadi ngawur kayak gitu." lirihnya seolah menghibur dirinya juga.

"Kita nungguin Ayah lagi. Siapa tau dia bakal pulang dan minta maaf sama kita." lagi-lagi ia bermonolog sendiri. Respon buah hati yang ada di ruang pribadinya tiba-tiba ia rasa. Sementara, Aqilah tersenyum kecut karena tiba-tiba teringat ucapan Gibran sebelum insiden itu terkuak.

"Aku senang anak kita aktif. Semoga sehat terus yahh nak dan kamu bisa ketemu dengan Ayah dan Bunda yang sudah nggak sabar menantikanmu." Ucap Gibran saat itu. Tiba-tiba, Aqilah meringis karena dadanya sesak. Mungkin rasa sakit karena ulah Gibran belum pulih, pikirnya. Tapi, kepalanya pun ikut pusing. Ia berusaha bangkit dari kursinya dan melangkah keluar menemui siapa saja yang bisa menolongnya. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.

"Mama.. Mama.." suara Aqilah bergetar menahan rasa sakit. Ia berusaha untuk teriak tapi terdengar seperti lirih.

Keberuntungan menghampirinya saat kepala pelayan tiba-tiba keluar dari ruang kerja Gibran yang sudah kosong selama seminggu lebih. Aqilah juga sudah tidak tahu kabar suaminya yang mungkin sudah menikah lagi. Mengingatnya saja, sudah membuat kepala Aqilah semakin pusing.

"Astaghfirullah.. Nyo-nyonya Aqilah." Teriak kepala pelayan itu dengan histeris.

"Nyonya besar.. NYONYA." Saking paniknya, kepala pelayan itu sudah meneriaki Syakilah dari lantai atas.

"Ngapain kamu teriak-teriak? Dasar tidak so–" Syakilah yang tersulut emosi sambil menaiki tangga tiba-tiba memekik karena melihat Aqilah yang sudah tersungkur lemah di lantai yang dingin.

"ASTAGHFIRULLAH.. AQILAH." Pekik Syakilah tak kalah histeris. Ia langsung memanggil David yang sudah tiap hari menjaga adiknya hingga ia rela bermalam di kediaman Asla.

Mendengar pekikan Syakilah, David dan Asla berlari naik ke lantai atas untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kedua pria itu langsung mendekati Aqilah. Sementara, David memeriksa denyut nadi Aqilah yang melemah.

Dengan sigap, ia menggendong Aqilah turun ke lantai bawah menuju parkiran. Ia harus segera membawa adiknya menuju rumah sakit. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Aqilah, mungkin David akan membunuh Gibran. Meski ia harus tinggal di penjara seumur hidup. Ia harus menjaga adiknya karena hal itu merupakan titah sang Ayah untuknya sebagai anak bungsu dari Ibunya.

Semua orang menjadi panik. "Mungkinkah Aqilah akan lahiran bulan ini? Tapi usia kandungannya baru tujuh bulan."

Suara itu berasal dari Fia gemetar yang ikut serta di dalam mobil menemani Aqilah seperti halnya Syakilah.

"Sepertinya. Karena hamil kembar biasanya beresiko lahir prematur. Tapi kalo keadaan memungkinkan dan tidak ada faktor yang akan membahayakan janin dan ibunya, sepertinya bisa lahir normal. Aku juga kurang tau meski aku seorang dokter." jelas David. Syakilah hanya menghela napas gusar. Ia teringat dengan putra brengseknya yang tidak bertanggung jawab itu.

Usapan pelan menyentuh pundak Syakilah. "Mama yang sabar yahh. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aku tau apa yang Mama pikirkan. Tapi bukan saatnya kita memikirkan dia. Kita fokus sama Aqilah aja yahh."

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang