Part 15

2.3K 164 0
                                    

"Pernikahan, ibadah terpanjang. Pernikahan bukanlah kesenangan semata, melainkan sebuah tanggung jawab. Kamu benar-benar siap?"

Aqilah Nadhifah Husaini

💝💝💝

Sehari sebelum acara pernikahan Aqilah, ia sempat meminta izin untuk cuti selama tiga hari di rumah sakit. Tanpa sengaja, Aqilah bertemu dengan Nina yang menyusun berkas-berkas riwayat pasien yang sempat diperiksa oleh Aqilah di rungannya sendiri. Nina mencolek Aqilah yang sedang mengemasi barang-barangnya karena ingin segera pulang untuk mempersiapkan diri.

"Ngapain sihh colek-colek, Nin? Gue lagi beres-beres nih," kesal Aqilah. Namun, Nina tetap mencolek Aqilah hingga gadis itu pun menatapnya.

Aqilah menghela napas lalu menoleh kearah Nina yang membaca berkas yang ada di map itu dengan wajah serius. "Apa sih Nin?"

"Lo tau nggak kalo Gibran punya anak?" tanya Nina dengan ekspresi terkejutnya.

"Tau. Malah gue yang tanganin kemarin pas lagi sakit," jawab Aqilah santai. Ia kembali fokus pada barang-barang yang ia kemas.

"Berarti Gibran itu duda dong? Kok lo mau sihh nikah sama duda?" Nina menanyakan hal yang selama ini tidak disadari oleh Aqilah. Sontak, ia tersedak air liurnya sendiri. Heran saja, kenapa ia baru menyadarinya sekarang?! Kenapa tidak dari dulu?! Kalau Nina menanyakan alasan mengapa ia mau menikah dengan Gibran yang notabenenya adalah seorang duda, ia tidak bisa menjawabnya dengan mengatasnamakan perasaannya. Mungkin, jawaban tepat yang akan ia lontarkan adalah karena Allah menggerakkan hatiku dan hati keluargaku untuk menerimanya dengan lapang. Lagi pula, ia sungguh tidak menyadari hal itu. Jika saja ia menyadarinya, tentu Aqilah akan berpikir dua kali untuk menikah dengan Gibran. Pasalnya ia seorang gadis yang belum pernah menikah, masa harus mendapatkan dan disandingkan dengan duda?!

Tidak, tidak. Astaghfirullah, ini semua rencana Allah. Aqilah membatin.

"Udah ahh. Pertanyaan lo nggak penting. Besok acara pernikahan gue dan gue mau semuanya berjalan lancar. Tanpa beban pikiran. Terlebih tentang..." ucapan Aqilah tiba-tiba menggantung. Nina yang begitu penasaran dan tidak peka, mengulangi ucapan Aqilah yang terpotong.

"Tentang?"

Aqilah membuang napasnya pelan-pelan sebelum menjawabnya. "Tentang Mas Afif. Gue rasa semuanya harus gue akhiri. Maksudnya, semua perasaan gue harus berakhir hari ini dan mulai belajar mencintai Gibran."

Perlahan, raut wajah Nina berubah. Meskipun ia tidak merasakan secara langsung perasaan Aqilah, tetap saja ia merasakan sakit. Siapa yang sanggup berpisah dan menutup lembaran kisah dengan orang yang dicinta?! Siapa yang benar-benar berhasil seratus persen membuka lembaran baru dengan pria asing yang tentu tidak dicintai?! Jawabannya, Jarang sekali kita menemukan sosok yang berhasil melakukannya.

"Udah ahh. Gue mau pulang. Gue yang cerita, kok malah lo yang sedih," celetuknya. Aqilah berusaha menahan gemuruh aneh dalam dadanya dan menyugesti pikirannya agar tidak mempengaruhi matanya untuk menangis. Karena jujur saja, senyuman di wajah Aqilah terasa hambar. Bukan senyuman hangat atau pun senyum bahagia, melainkan senyuman yang ia paksakan.

Nina membalas senyuman Aqilah. "Lo yang kuat yahh. Lo pasti bisa."

Aqilah hanya mengangguk sebagai jawaban. Pikirannya berusaha memikirkan hal-hal yang lucu agar air matanya tidak tumpah. Ia sudah lelah menangisi takdirnya. Seharusnya, ia bisa menerima kalau ia dan Afif tidak berjodoh. Meskipun ia benar-benar mengingingkan pendamping sholeh seperti Afif. Tapi ia juga tidak ingin Afif menjadi anak yang durhaka hanya karena dirinya yang bukan siapa-siapa.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang