Part 30

2.2K 144 0
                                    

Setelah lama membujuk Gibran untuk menyetujui permintaan Aqilah, pria itu berakhir pasrah. Jika ia berada di posisi sang istrinya yang teramat merindukan ibunya, tentu ia pun akan merengek meminta izin seperti yang dilakukan Aqilah beberapa hari yang lalu.

Sayangnya, keduanya pun berakhir di jet pribadi keluarganya yang melakukan perjalanan ke kota Padang. Kini keadaan berbanding terbalik dari pikiran orang-orang. Sepanjang perjalanan, Gibran selalu saja menempel pada Aqilah. Mau bagaimana lagi, belum berpisah ia sudah merasakan rindu.

"Bang, jangan nempel ke aku terus." bisik Aqilah.

Gibran menggeleng dan tetap setia memeluk Aqilah yang sudah kesekian kalinya menghembuskan napas panjang.

"Aku udah rindu kamu tau. Bagaimana jadinya aku di Jakarta beberapa hari ke depan, sayang? Kamu bakal rindu, nggak?" Dalam hati, Aqilah berkali-kali dibuat terkejut karena ulah Gibran di luar dugaannya. Saat ini pria itu merengek padanya untuk mengurungkan niatnya bermalam beberapa hari di Padang. Demi apa, Gibran terlihat sangat imut dimatanya.

"Sayang, liat aku. Cuma dua atau tiga hari loh sayang. Bukan sebulan atau setahun. Kamu pasti bisa sayang. Semangat." ucap Aqilah yang menangkup kedua pipi Gibran untuk mempertemu tatapan mereka.

Gibran menatap intens Aqilah. Wanita itu hendak menarik tangannya. Dengan cepat, Gibran menahan punggung tangan Aqilah. "Kamu bakal rindu aku, nggak?"

Aqilah berdehem, masih saja merasa gugup ketika Gibran menatapnya se-intens itu.

"Te-tentu. Tentu, Bang. A-aku.. Aku bakal rindu kamu. Ngapain nanya sih." jawabnya terbata-bata karena malu. Bahkan diakhir kalimat nada suaranya melemah. Sebenarnya, ia juga tidak ingin berpisah dengan suaminya walau hanya beberapa hari. Ia juga sekuat tenaga menahan rindu yang aneh padahal belum berpisah. Ia menahan segala aspek yang berpeluang untuk menggagalkan rencananya ke Padang untuk menemui Uminya sekaligus mencari tahu sebuah kebenaran mengenai diri dan keluarganya yang masih teka-teki untuknya.

"Tuhh kan. Nggak usah tinggal yah. Ikut aja kembali ke Jakarta bareng aku, sayang." bujuk Gibran yang belum menyerah.

"Nggak bisa gitu, sayang. Masa' iya sih kamu php-in aku sekaligus mertua kamu." balas Aqilah yang masih keukeuh.

"Yaudah kalo gitu. Biarin aku meluk kamu sampai nyampe yahh." ucapnya lemah dan kembali memeluk istrinya. Jangan lupa, ia juga mengelus perut Aqilah.

"Nak, Bundamu jahat mau ninggalin Ayah sendiri. Jangan nyusahin Bunda yahh. Jagain Bundanya kalo nakal." Mendengar ucapan Gibran, Aqilah tidak bisa menahan tawanya.

"Emangnya kapan aku nakal Bang? Abang sendiri yang nakal sering bikin aku bertanduk kayak iblis karena dibakar cemburu." gerutu Aqilah yang diiringi tawa.

"Hahahaha, emang kamu cemburu beneran sayang? You really love me, Honey?" Lagi-lagi Gibran menggoda istrinya seolah meragukan rasa cinta Aqilah.

"Nggak. Nyebelin karna kamu hobi godain aku." Aqilah mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Yaudah, godain cewek lain aja dehh, kayak ABG. Lagian istriku sering ngembek sih."

Aqilah beralih mendelik tajam kearah Gibran. "Bang, awas yahh kalo kamu macem-macem di Jakarta. Kalo aku balik, aku nggak mau satu kamar sama abang apalagi satu ranjang."

"Waduhhh, ganas bener Ibu hamil ini kalo lagi cemburu. Hahahaha." tawa Gibran meledak.

"Jahat. Kamu nyebelin banget tau. Aku kesel sama kamu, Bang."

"Tapi aku sayang kamu. Aku cinta sama kamu."

"Nggak ngaruh sama aku, Bang. Gombalanmu udah basi. Udah aah." Kini Aqilah justru memeluk Gibran dengan sangat erat. "Jangan macem-macem, Bang. Kalo kamu nggak sayang aku, setidaknya inget anak kita."

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang